si dhita punya cerita

...cerita sederhana dari ku untuk sahabat dan untuk ku dari sahabat...

My Photo
Name:
Location: Jakarta,,, Indonesia

an ordinary girl with an extra-ordinary dreams..

Saturday, August 05, 2006

abittersweet

26 Juni 2006

Suara tangisan bayi membangunkan ku pagi ini. Huh berisik banget sih, pikirku seraya meraih handphone yang aku letakkan di bawah bantal. Baru pukul 6 pagi rupanya. Masih ada dua jam sebelum tasya datang menjemputku. Tidur sedikit lagi gak dosa kan ?

Selimut pun ku tarik menutupi seluruh badanku sampai ke kepala. Huaamm..berat benar mataku. Sekejap kemudian aku langsung tertidur kembali.

Belum sempat memasuki gerbang mimpi, lagi-lagi aku ditarik ke dunia nyata. Bukan dengan suara berisik seperti yang pertama, namun kali ini dengan sebuah usapan lembut di pipiku. Sepasang tangan mungil mencoba meraih hidungku. Sangat lembut. Dan aku bisa langsung mengenalinya. Ah kamu toh. Perlahan ku buka selimutku dan dia ada disampingku. Merangkak pelan di dalam balutan piyama merah muda yang aku belikan di Tanah Abang dulu.

Dulu. Dulu sekali. Aku hampir lupa kapan segalanya dimulai. Semua hal baru yang melahirkan kegiatan dan kebiasaan baru ini telah merubah seluruh hidup ku. Dengan lembut kuraih pemilik tangan mungil yang dari tadi masih mencoba meraih dan bereksperimen dengan hidung ku.

Arinda Metania Prameswara

Kaulah pemilik hidupku sekarang. Segala yang aku miliki, segala yang aku lakukan, segala hal dan harapan yang ingin dan akan aku raih. Semuanya. Semuanya akan aku berikan kepadamu. Akan kucurahkan hanya untuk mu. Apapun akan aku lakukan untuk kebahagiaanmu. Sekarang dan seterusnya. Selalu akan terus seperti itu.

***

20 Maret 2005

04.39

Lalu lalang orang di depan kamar tidur ku menyudahi mimpi indah malam ini. Masih sangat dini untuk melakukan aktifitas, karena pada saat ini matahari saja belum menampakkan keagungannya. Ayam jantan tetangga sebelah pun belum berkokok menyambut hari. Tapi sepertinya tidak ada yang bisa menghalangi para penghuni rumah untuk bergerak. Bergerak dan bergerak. Mengecek segala sesuatu pada tempatnya. Menyakinkan diri kalau hal-hal detail sudah siap untuk digunakan. Terus bergerak dan melakukan sesuatu yang sangat penting untuk hari ini.

Sampai pada satu saat sesosok penghuni berhenti bergerak di depan pintu kamarku. Bisa kulihat bayangannya melalui celah pintu kayu berwarna putih itu. Tidak jelas memang, tapi cukup jelas untuk menyakinkanmu kalau ada sesuatu yang berdiri tepat di depan pintu kamarmu. Suara ketokan lembut menarik aku yang memang sudah bangun dari tadi untuk beranjak dan menuju ke arah suara ketukan tersebut.

“Semua sudah siap mbak”. Kata si pelaku pengetukan yang makin memaksaku untuk membuka pintu tersebut.

“Oh..iya. Aku 10 menit lagi siap. Siapin aja barang-barang yang harus dibawa”. Jawabku sambil mencopot rol rambut yang masih melingkar di poniku.

07.27

Riasan make up telah menghiasi wajah ku. Softlens berwarna coklat juga telah aku pasang sebelum sang perias membubuhkan warna demi warna di kanvas yang tak lain adalah wajah ku. Hanya pada hari hari penting saja aku menanggalkan kacamata bingkai hitam tebalku dengan sepasang softlens. Hanya pada hari yang benar-benar memaksaku untuk tampil maksimal. Dan inilah hari itu.

Au…rasa sakit sesaat telah membangunkanku dari lamunan sesaat. Seseorang sedang melakukan eksperimen sederhana dengan rambut yang tumbuh di kepalaku. Orang menamakan kegiatan ini menyasak atau bahasa yang lazim digunakan oleh para ibu pejabat yang hendak menghadiri arisan sebagai acara masang sanggul.

“Aduh. Mbak pelan pelan dong nyasaknya”. Ujarku sedetik sebelum ia makin keras menarik narik rambutku.

“Kekencengan ya mbak ? Maaf yah, saya engga tau”. Jawabnya sedikit mengelak atas perbuatan yang telah ia lakukan.

Huh..ternyata dia baru sadar akan perbuatannya setelah aku kasih tau. Heran, kenapa orang seperti ini bisa-bisanya dipekerjakan di salon yang sebagus ini. Apa tidak ada tes masuk bagi para karyawan yang hendak dipekerjakan. Atau jangan-jangan ia hanya seoarang pembantu dari pemilik salon yang terpaksa dibawa pagi-pagi untuk mengurusi setidaknya puluhan kepala untuk dipasangi rangkaian rambut buatan di atasnya.

Kasian si pemilik salon. Sepertinya dia butuh kaca mata baru agar lain kali dia bisa membedakan mana pembantu rumah tangganya dan mana pegawai yang ia pekerjakan di salonnya. Atau mungkin si pemilik salon sedang dibelit hutang yang cukup berat sehingga ia harus rela melepas pegawai-pegawai terbaiknya. Sebagai gantinya ia mulai mencanangkan status ganda bagi seluruh orang di rumahnya. Ya sebagai pembantu rumah tangga, juga sebagai pegawai salon. Ya sebagai keluarga, juga sebagai pegawai salon. Pokoknya siapa pun yang ia kenal dan masih memiliki sepasang tangan sempurna akan ia pekerjakan sebagai pegawai di salonnya. Tidak peduli memiliki ketrampilan menyalon atau tidak, yang penting ada orang yang cukup untuk hari yang penting ini.

09.48

Aku berdiri di atas panggung kecil di aula suatu masjid yang tidak jauh dari rumah ku. Puluhan atau bahkan ratusan orang mengantri untuk naik ke atas panggung untuk menyalami ratu sehari ini. Beberapa diantaranya aku kenal dan sisanya mungkin hanya orang iseng yang cuma ingin makan siang gratis saja.

Cantik. Itulah komentar orang yang menyalami ku. Semuanya memperlihatkan wajah bahagia. Senyum lebar tidak henti-hentinya mewarnai wajah mereka. Demi kesopanan aku pun membalas senyum senyum itu. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Hah..sudah tak terhitung lagi jumlah senyuman yang aku balas dengan senyuman juga.

Lelah. Bukan lelah berdiri sejak beberapa jam yang lalu. Bukan lelah memakai sanggul yang beratnya hampir sama dengan seplastik telur yang biasa aku beli di warung. Bukan lelah karena riasan wajah yang sedikit demi sedikit mulai luncur terkena keringatku. Bukan. Bukan itu. Bukan lelah secara fisik yang bisa dengan mudah aku sembuhkan dengan perawatan spa sehari. Jauh didalam diri ku lelah itu berasal. Uff..lelah...

Untuk kesekian kalinya aku hembuskan nafas ku, berharap akan datang sedikit kelegaan yang aku cari. Tapi percuma. Dan sekejap kemudian aku kembali berusaha memasang senyum semanis-manisnya. Semoga saja sang perias tadi cukup mahir dalam membubuhkan mantra-mantra kecantikan dalam diriku. Jadi orang lain tidak perlu tau kalau senyum yang menghiasi wajahku saat ini juga sebuah riasan untuk menyembunyikan apa yang ada jauh di dalam hatiku.

19.12

“Yang, kamu makan dulu sana. Tadi siang kan kamu makannya Cuma sedikit”. Suara lembut itu mengalun di sampingku.

“Iya. Kamu makan duluan aja. Bentar lagi aku nyusul mas”. Jawabku sambil tersenyum.

Pria itu pun keluar dari kamar. Tapi tidak lama kemudian dia kembali dengan nampan yang berisi nasi beserta lauk pauknya. Tidak lupa segelas susu dan beberapa butir kapsul vitamin.

“Makasih yah. Udah kamu makan juga sana. Aku bisa kok makan sendiri, gak usah pake disuapin segala”.

“ Ya udah. Tapi diabisin yah. Jangan lupa vitaminnya lho”.

Setelah mengecup keningku, pria tersebut kembali keluar dari kamar. Aku pun mengantarkannya sampai di depan pintu. Pintu langsung aku tutup dan aku kunci begitu ku lihat si pria berbelok ke arah ruang makan. Kemudian aku berdiri tegak di depan cermin besar yang berada di seberang pintu itu.

Gendut. Kata yang paling tepat untuk menggambarkan diriku. Lebih cocok menjadi badut ancol daripada seorang ratu sehari. Kebaya merah tua itu melekat ketat pada tubuhku yang makin membuncit. Bukan keanggunan yang dapat kulihat tapi perasaan yang jauh berbeda dari itu.

Satu demi satu aku lepas kancing kebaya itu dan ku ganti dengan sepotong daster motif batik yang lebih longgar dan nyaman. Kuamati sekali lagi tubuh buncit ku. Sambil menghabiskan makan malam ku, ku elus lembut bagian perut dari tubuh buncit ini. Mama disini nak, kamu gak usah khawatir. Apapun demi kebahagian kamu. Apapun nak. Apapun.

***

… Desember 2004

Bekas air mata masih ada di pipi kiri dan kanan ku. Warna merah pun mewarnai kedua bola mataku. Sembab dan bengkak. Semalam aku memang tidak bisa tidur dengan pulas. Berkali-kali aku terbangun dan tidak bisa kembali melanjutkan tidur. Semua permasalahan ini memang sudah dapat aku atasi. Mungkin tuhan masih sayang pada ku, karena akhirnya aku temukan jalan yang terbaik dari yang baik atas masalah yang menimpaku.

Dia telah datang sebagai penyelamatku. Dia datang untuk membantuku menyelesaikan masalah ini, padahal dia sama sekali gak terlibat dengan apa yang terjadi. Dia lah matahari yang telah membantu memunculkan sebuah pelangi indah setelah badai itu. Ya, kamu lah matahari ku.

Aku kembali tersenyum memandang kotak kenangan itu. Sebuah kotak berwarna merah muda dengan dihiasi motif bunga kecil berwarna warni. Sebuah kotak yang menyimpan foto-foto aku dan matahariku. Selain itu juga ada setidaknya selusin kartu dan surat cinta berwarna merah muda. Dia memang tau kalau aku sangat suka dengan warna merah muda, makanya setiap ada hari penting dia akan memberikan ku barang-barang dengan warna itu.

Namun ada satu benda yang tidak berwarna sama dengan benda lainnya. Sepucuk surat berwarna kuning yang sudah sangat lusuh dan membuat ku malas untuk kembali membuka dan membacanya. Itu bukan surat cinta seperti yang lainnya. Itu adalah surat penuh amarah yang ia berikan kepada ku karena keputusan sepihak yang aku lakukan dulu.

Ku lipat kembali surat itu dan ku kembalikan ke dalam kotak kenangan ku. Kali ini aku mengambil sebuah kartu. Bukan kartu cinta atau ucapan ulang tahun. Ini kartu undangan. Undangan pernikahan berwarna hitam putih yang dihiasi dengan foto terbaik kedua calon mempelai.

Suatu pagi, seminggu kemarin sang penyelamat berbincang dengan ayahku dan ia melamarku. Tidak lama untuk ayahku membuat suatu keputusan meng iya kan lamaran itu. Perut ku ini memang telah memaksa bukan hanya aku tapi juga kedua orang tuaku untuk mengambil suatu keputusan paling besar dalam hidup kami. Tidak banyak waktu yang kami miliki untuk mengatur segala sesuatu. Setelah sekali dilaksanakan rapat keluarga, hari dan tanggal pun ditetapkan. Tidak lupa dengan sederet nama panitia yang akan menyukseskan acara ini.

Dengan alasan tidak enak badan, aku enggan keluar dari kamar. Selimut menutupi tubuhku untuk melengkapi acting sakit ku. Aku malu untuk keluar di saat seperti ini. Lebih-lebih dengan banyaknya keluarga yang datang. Mungkin mereka akan tetap bersikap baik dan ramah kepadaku. Tapi aku tau apa yang ada jauh di dalam mata mereka setiap menatapku. Tatapan yang membuatku menjadi makhluk paling rendah di muka bumi.

***

… Juni 2004

Pagi pertama di liburan sekolahku. Hmm..apa yang akan aku lakukan hari ini yah, pikirku dalam hati. Pilihan-pilihan yang ada tampak sangat membosankan. Hmm..jalan-jalan ke mall, kumpul dengan teman-teman, atau pergi untuk perawatan sehari di salon. Ahh..hanya hal-hal biasa yang ada. Hmm..aku harus menemukan satu pilihan alternatif untuk liburan kali ini. Tapi apa.

Bunyi handphone membuatku penasaran untuk mengetahui siapa yang telah mengganggu ku di pagi yang cerah ini. Sebuah pesan singkat masuk untuk memberitahukan kalau hari ini teman-teman ku mau pergi liburan ke luar kota. Hmm..ke Bandung ? Rasanya ini jauh lebih menyenangkan dari pilihan-pilihan yang ada. Dengan cepat ku balas pesan itu, aku bilang kalau aku akan ikut dengan mereka dan meminta mereka untuk menungguku mempersiapkan apa yang akan aku bawa.

Handphone ku kembali berbunyi untuk memberitahu kalau ada satu lagi pesan singkat yang datang. Kali ini bukan dari teman-teman ku, melainkan dari seorang cowo bernama Surya yang semalam sudah aku beri gelar mantan pacar di depan namanya. Dengan pesan itu ia hanya menanyakan apakah aku sudah menerima surat yang ia selipkan di celah pintu kamarku. Setelah prosesi pemberian gelar tersebut, ia langsung menulis sebuah surat pada kertas kuning lusuh yang ia temukan di ruang tamuku. Dan ia selipkan di celah pintu kamarku sebelum akhirnya ia pamit untuk pergi selamanya dari kehidupanku.

Ku amati kertas kuning itu. Kubaca dan ku coba memahami kata demi kata. Dan akhirnya aku akhiri dengan meremas kertas itu dan melemparkannya ke dalam sebuah kotak berwarna merah muda dengan motif bunga kecil berwarna warni. Maaf sayang, aku gak perlu kamu lagi. Aku sudah mendapatkan seseorang yang baru dan aku inginkan selama ini. Dan dia jauh lebih baik dari mu. Jauh. Sangat jauh lebih baik dari mu.

***

… Agustus 2004

Sayang, kita jadi pergi kan nanti malam ? Tanya pesan aku yang dapatkan dari seseorang yang sangat istimewa, Dimas. Sejak dua bulan yang lalu status aku dan Dimas berubah dari hanya teman biasa menjadi pacar. Aku memang sudah lama mengenal dia. Satu sekolah dan satu tempat kursus membuat kami dekat satu sama lain. Aku akui kalau kedekatan yang ada telah menumbuhkan perasaan aneh setiap kami bertemu. Seperti ada kupu-kupu beterbangan di dalam perut ku. Efek butterfly yang biasa dirasakan oleh seseorang yang sedang jatuh cinta.

Sejak itu aku memang merasakan sesuatu yang lain. Perasaan cinta yang di berikan pacarku sebelumnya jauh berbeda dari yang Dimas berikan ke aku. Dimas sangat perhatian dan bisa meyakinkan ku kalau hanya akulah yang ada dalam hidupnya. Setelah mengenal Dimas aku berjanji untuk menyudahi kegiatan gonta-ganti pacar dan menutup deretan nama mantan terdahulu ku dengan nama Dimas. Hanya Dimas.

Setelah mandi aku lepas roll rambut yang melingkar di rambutku. Roll rambut memang banyak membantu disaat aku tidak sempat pergi ke salon. Setelah semua roll terlepas ku pakai sepotong baju berwarna hitam. Baju yang baru aku beli kemarin dengan setengah dari uang jajanku bulan ini. Hmm..harga yang pantas untuk sebuah baju seperti yang biasa dikenakan Paris Hilton diatas karpet merah. Dengan cepat kupulas kan berbagai warna di atas wajahku. Hmm..sempurna.

Aku keluar tepat dengan kedatangan Dimas ke rumah. Setelah berpamitan dengan kedua orang tua aku memasuki sedan hitam mewah yang sudah terparkir di depan rumah.

“Mas, kita mau kemana sekarang ?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Udah kamu ikut aja deh. Pokoknya tempat yang istimewa untuk orang yang istimewa”. Jawabnya sambil tersenyum.

Aku membalas senyuman manis itu dan kemudian aku lebih memilih untuk diam menunggu kejutan apa lagi yang akan Dimas berikan pada ku. Gak lama waktu untuk ku menunggu, karena kami telah tiba di lapangan parkir sebuah kafe terkenal di ibu kota. Sepertinya disana sedang ada sebuah acara. Acara ulang tahun mungkin karena banyaknya tamu yang datang dan lampu lampu yang menghiasi tiap sudut kafe itu.

“Emang ada acara apa mas, kok disini rame banget ?” tanyaku polos melihat keramaian yang ada disana.

“Temenku ada yang ulang tahun. Mereka nyuruh aku untuk ngajak kamu juga dateng kesini”. Jawabnya seraya meraih tanganku untuk digandeng.

Kami masuk ke dalam kafe itu. Sepertinya orang-orang yang ada merupakan teman Dimas di tempat yang lain, karena tidak aku temukan wajah yang aku kenal dari sekolah atau tempat kursus kami. Satu demi satu orang yang kami temui menyalami untuk berkenalan dengan ku. Dan melakukan toss dengan Dimas seperti layaknya sahabat dekat yang sudah lama tidak bertemu.

Woi apa kabar lo ?..My broe’ dateng juga lo...Eh sipa nih, cewe lo yah ? Kenalin dong. Dan berbagai sapaan lainnya yang berbeda dari orang yang berbeda pula. Banyak juga temannya Dimas. Kok selama ini aku gak tau yah kalau Dimas memiliki teman sebanyak ini. Tidak terasa jarum jarum pada jam tanganku sudah menunjukan pukul 11 malam. Kami pun berpamitan dengan setiap orang disana.

Mobil yang kami tumpangi berhenti di salah satu gang sepi di komplek rumahku. Bukan tempat yang seharusnya, karena gang ini masih jauh dari rumahku. Dimas mematikan mesin mobil, kemudian mengajak ku pindah ke kursi belakang.

“Aku masih mau sama-sama kamu dulu. Gak papa kan kalo kita ngobrol bentar”. Tanyanya sambil menatapku lembut.

Aku mengangguk sebagai tanda setuju dengannya. Aku juga belum ingin masuk ke rumah dan berpisah dengannya malam ini. Aku masih sangat kangen dengan dia, karena selama di kafe tadi dia menghabiskan waktunya untuk ngobrol segala hal dengan teman-teman lamanya itu. Aku dan dia pindah ke kursi belakang, dengan demikian dia bisa lebih nyaman untuk merangkulku. Obrolan demi obrolan pun kami lakukan. Mulai dari masalah yang ada di sekolah, obrolan ringan seperti musik dan film, sampai kepada perasaan kami masing-masing.

“Aku sayang banget sama kamu” katanya dengan tatapan super lembut yang langsung membuatku luluh.

Pada saat mendengar pernyataan itu aku hanya diam. Aku juga sayang kamu mas, jawabku dalam hati. Dimas kembali memelukku untuk kesekian kalinya. Tapi pelukan ini tidak selama yang sebelumnya, karena Dimas mengakhiri pelukan dengan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sampai pada akhirnya bibirnya menyentuh lembut bibirku. Aku hanya bisa diam dan menutup mataku. Aku tidak sadar dengan apa yang sudah aku lakukan pada malam itu dan akhirnya suara lembut Dimas menyadarkan aku apa yang telah kami berdua perbuat.

Aku gak akan ninggalin kamu. Aku janji. Katanya lembut sambil menyelimuti tubuhku yang sudah tidak tertempel satu helai benang pun dengan sebuah jaket olahraga berwarna merah miliknya. Aku sayang kamu mas, dan aku berikan apapun untuk mu. Hanya untuk mu. Jawabku dalam hati berharap kalau ini semua ini hanya satu episode dalam mimpi indahku.

***

… Oktober 2004

Deru mobil makin kencang sekencang denyut jantung kami berdua. Amarah dari satu sama lain membuat emosi kami tidak dapat dibendung lagi. Sudah satu jam aku menangis dan berteriak di dalam mobil mewah ini.

“ Aku hamil mas ! ”. Teriakku kepada cowok yang duduk disampingku itu.

“ Aku gak peduli kamu hamil. Aku belum siap. Kamu ngertiin aku dong. Kamu mau aku kasih makan apa nanti ”. Teriakan balasan aku dapatkan dengan segera.

“ Terus aku harus gimana mas ? “ Balas ku tetap dengan teriakan.

“Kamu tau kan kamu harus ngapain “. Jawabnya singkat.

Acara teriak-teriakan itu tenggelam setelah suara tabarakan yang sangat keras. Decit ban yang mengadu dengan aspal tidak cukup untuk menghentikan kendaraan dengan kecepatan diatas seratus. Papan penunjuk jalan pun tidak bisa pindah untuk menghindari mobil dengan kecepatan seperti itu. Suara klakson keras telah menyadarkanku. Aku lihat darah telah mengalir di dahi ku. Dan Dimas yang duduk disampingku tertidur damai dengan kepala bersandar pada stir. Darah tanpa henti mengalir dari kepalanya. Ini cuma mimpi kan ? Tiba-tiba pandanganku kembali buram dan aku kembali tertidur sebelum sadar kalau semuanya bukan mimpi.

***

26 Juni 2006

Tasya datang menjemputku telat setengah jam dari waktu yang sudah kami janjikan sebelumnya. Aku pamitan dengan mas Surya, suamiku dan tidak lupa aku mengecup kedua pipi malaikat kecilku. Mama pergi dulu ya nak. Lalu aku dan Tasya pun memasuki mobil merah miliknya. Dengan sigap Tasya menyetir menghindari berbagai kemacetan yang kami temui.

Kami sampai di sebuah tempat yang menjadi tujuan kami hari ini. Kutaburi berbagai macam bunga di atas gundukan tanah yang ada di hadapanku. Setelah kami berdua memanjatkan doa berasama, kupandangi sekali lagi papan nisan sebagai tanda dari gundukan tanah tersebut.

Dimas Prameswara

Lahir : 29 Januari 1985

Wafat : 20 Oktober 2004

Aku terdiam sesaat membuka lemari penyimpanan masa lalu di dalam pikiranku. Segala hal indah yang aku lakukan dulu. Sekarang semuanya telah banyak berubah. Tapi ada satu yang gak akan pernah berubah, rasa cinta ku akan terus ada dan akan terus bertambah dan bertambah setiap harinya. Cinta yang sama namun pada orang yang berbeda. Aku akan memberikan kebahagiaan pada anak kita mas, aku janji. Semoga di sana kamu juga mendapatkan kebahagian yang sama mas. Semoga.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home