si dhita punya cerita

...cerita sederhana dari ku untuk sahabat dan untuk ku dari sahabat...

My Photo
Name:
Location: Jakarta,,, Indonesia

an ordinary girl with an extra-ordinary dreams..

Friday, August 11, 2006

Diandra..

Untuk kesekian kalinya Diandra memalingkan kepala agar dapat lebih mudah melihat pantulan punggungnya di cermin. Sama. Tidak ada yang ganjil pada punggung ini. Yang ia lihat hanyalah pantulan tubuhnya dalam balutan kaos tua.

Huh..sayap itu belum juga mencuat keluar.

Sayap yang sangat ia harapkan agar mempermudah ia untuk hidup.

Kapan sayap itu muncul. Tidak ada yang tau.

Andra, biarkan kami membantumu.

Kamu tidak bisa melakukan segalanya sesuatunya sendiri.

Kamu butuh orang lain untuk membantumu.

Kata-kata itu terus bergema di dalam pikirannya, sampai-sampai menembus batas antara logika dan alam bawah sadar. Kata demi kata terangkai abstrak. Terus meneriakkan makna yang sama. Terus. Tanpa henti.

Keringat bercucuran dari tubuhnya, mengalir membasahi setiap lekukan. Memberikan noda tersendiri pada gaun tidurnya. Dengan nafas sedikit tersengal Diandra bangun dari tidurnya yang tidak bisa dibilang pulas. Kata-kata itu masih mengiang, berkali-kali memaksa untuk didengar dan diperhatikan. Keras sekali hingga membuatnya berpikiran kalau ada seseorang yang turut membantu menggemakan kata demi kata di kedua telinganya.

Aku kuat. Aku bisa menyelesaikan semua. Ujarnya sebelum masuk ke kamar mandi guna memulai hari.

*

Alat-alat tulis mengantri untuk masuk ke dalam tas besar berwarna hijau itu. Dengan cepat mereka berkelompok dan menempati posisi yang sudah ditentukan sebelumnya. Hm..suatu awal yang baik untuk memulai hari yang cerah. Diandra melingkarkan tali tas pada kedua bahu kokohnya. Lalu dia mulai sibuk mengendalikan laju motor besar itu.

Terlalu besar untuk seorang wanita. Lagi-lagi kalimat itu terngiang. Ya, motor yang tidak sebanding dengan ukuran tubuhnya. Huh lagi-lagi soal ukuran. Namun itu tidak mengurangi niat untuk membeli dan membayar motor besar itu dengan seluruh hasil kerja kerasnya selama ini. Memang ukuran tidak sebanding, tapi kepuasan yang ia dapatkan melebihi seluruh isi alam semesta.

Hanya pria yang mempersoalkan mengenai ukuran, dan Diandra bukan pria. Tapi ia juga tidak mau menyebut dirinya sebagai wanita.

Knalpot berhenti berderu di depan sebuah bangunan. Bangunan tinggi dengan banyak jendala di setiap sisinya. Di setiap sudut terdapat taman yang indah, tidak lupa dihiasi dengan kursi kayu berlengan tempat para mahasiswa berdiskusi dan mengerjakan tugas mereka. Setelah memarkir kuda besi pada tempatnya.

Diandra menjejakkan kakinya menuju ke sebuah ruangan tepat di seberang tangga di bagian barat kampus. Dibukanya pintu kayu itu, dan ia pun masuk. Ruangan yang tidak begitu besar, hanya berukuran 3x3 meter dan tampak makin sempit karena banyaknya lemari yang dijejalkan masuk. Lantai yang tadinya tertutup karpet merah tua juga sudah berubah menjadi tumpukan kertas yang berserakan. Saling tindih menindih satu sama lain.

Tugas pertama Diandra di hari ini, sebelum ia menyelesaikan berbagai proposal dan tumpukan surat yang harus segera ia kirimkan untuk ditandatangani oleh para petinggi kampus. Huh..lelah ? Tidak, jawab Diandra yakin. Aku kuat. Aku bisa menyelesaikan semua. Untuk kesekian kalinya Diandra mengucapkan kalimat tersebut di dalam hati. Kalimat tersebut sepertinya sudah terpatri di dinding hati dan pikirannya. Sama seperti dua kalimat syahadad yang ia lantunkan lima waktu dalam sehari.

Matahari yang perkasa akhirnya lelah juga. Memilih untuk beristirahat sejenak dan meminta sang bulan untuk menggantikannya sesaat. Tapi tidak untuk Diandra. Diandra masih berkutat di depan komputer, jari-jari mungilnya menari diatas tuts keyboard guna memunculkan huruf demi huruf di dalam monitor pikirannya. Tidak ada yang dapat menghentikannya bekerja. Terus dan terus. Tidak peduli apakah sekarang jam kerja sang matahari atau si ratu malam. Ia terus bekerja. Tidak peduli laparnya perut ini, tidak peduli dengan jarum jam yang terus bergerak.

Akhirnya senyum itu muncul juga. Kembali dilihatnya lembaran kertas sekali lagi. Yap, selesai. Ujarnya pelan di tengah hening malam. Diputarnya kunci yang masih menggantung pada lubangnya. Tanpa lupa mematikan lampu, Diandra keluar menuju tempat kuda besi itu tertidur. Dengan lembut ia bangunkan dan suara ringkikan yang keras pun menderu kembali dari knalpot berukuran besar.

Tidak butuh waktu lama untuk Diandra melalui jalan besar di ibukota. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat di waktu selarut itu. Diandra sedikit memperlambat lajunya ketika ia melewati taman kota. Hm..indah. Taman yang sepi dengan seorang pria yang sedang tertidur pada salah satu bangkunya. Seorang pria yang berusaha mencari sedikit perlindungan di tengah belantara hutan metropolitan ini.

Mengapa di tengah hujan cahaya warna-warni yang sangat indah ini masih ada titik abu abu di salah satu sudutnya. Di saat para pria necis berdasi meluncur diatas kendaraan mewahnya, masih ada satu keluarga yang berjuang hanya untuk sebutir beras. Satu hal yang sangat memilukan hati. Diparkirkannya motor itu di bawah pancaran lampu taman yang terdekat. Selembar uang berwarna merah muda telah keluar dari dompet kulit, dan telah terlipat manis dalam genggaman layaknya sebuah origami.

Pria itu ternyata jauh lebih lusuh jika dilihat dari jarak hanya semeter. Diandra sekali lagi melipat kecil kertas merah mudah dalam genggamannya. Kemudian ia selipkan kertas tersebut di saku kiri pria tengah baya yang sedang tertidur pulas di hadapannya. Pakailah uang ini pak, mungkin kau lebih membutuhkannya. Belilah makanan untuk esok pagi, dan belilah pakaian baru atau selimut sebagai pertahanan di tengah rimba ini. Kau lebih membutuhkan kertas ini daripada aku. Jauh lebih membutuhkan.

**

Diandra Agustine, mengapa kau tidak pernah mau mendengarkan ? Tidak adakah waktu untuk ku sedikit saja.

Suara itu terlontar cepat dari mulut seorang pria. Diandra secara otomatis langsung mencari dari mana arah suara itu berasal. Seorang pria berdiri tepat di depannya. Meriakkan kata demi kata yang sama sekali ia acuhkan sejak satu jam ini. Pikirannya berusaha mencerna kata-kata itu, namun hati tidak bekerja sama sekali. Hatinya telah mati.

Hubungan yang tadinya indah itu telah berubah 180 derajat, sama seperti perubahan persepsi terhadap hidup masing-masing. Yang Diandra inginkan dalam hidup ini hanyalah bekerja dan bekerja. Menempuh segala liku guna mengembangkan apa yang ada di dalam diri.

Andra, aku ingin membantumu. Biarkan aku ada di dalam kehidupanmu. Tidakkah kau lelah. Tidakkah kau menginginkan tempat nyaman untuk bahumu bersandar. Biarkan aku menjadi tempat itu.

Aku bisa sendiri. Aku bisa mengerjakan segala sesuatunya tanpa bantuan orang lain. Aku bisa. Dengan cepat Diandra mengatakan kalimat itu, tidak secepat ketika pria itu menyebut namanya. Tidak cepat, namun jauh lebih jelas.

Ia tetap berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar. Pandangannya tidak dapat lepas dari gadis itu. Gadis dengan kaos dan jeans yang sedang berjalan menjauhinya. Aku tidak akan pergi. Aku akan selau ada di sini untuk menunggumu. Selama apapun itu. Aku akan selalu mencintaimu.

***

Rasa sakit itu kembali muncul. Diandra sedikit mengerang sambil berusaha tetap bertahan atas rasa sakit yang sedang dirasakannya. Ada yang menyayat lapisan kulit di punggungnya. Menyayat dari arah bahu menuju sampai ke bagian pinggang. Terus menerus. Dengan sebuah pisau tajam. Pelan tapi terasa sakitnya.

Au…erang Diandra pelan. Dipalingkan kepalanya agar lebih jelas melihat ada apa dengan punggungnya itu. Tidak ada apa-apa. Aneh. Rasa nyeri hingga menembus tulang akhirnya hilang, dan berganti dengan rasa lelah yang hampir membuatnya roboh.

Aku kuat. Aku tidak boleh lelah di saat seperti ini, masih banyak yang harus aku lakukan. Tapi gaya gravitasi rupanya begitu kuat, sehingga kaki yang sudah tidak mampu lagi menopang, membiarkan tubuh kokoh itu jatuh juga. Rasa sakit membentur kerikil tidak terasa. Yang kini ia rasakan hanyalah perasaan bebas dan lepas. Damai sekali. Tidak ada lagi beban yang harus kupikul, batin Diandra di dalam tidurnya.

****

Sudah aku bilang berapa kali, biarkanlah kami membantumu. Kegiatan yang kau lakukan terlalu banyak. Beristirahatlah. Bahkan matahari yang agung pun butuh istirahat.

Wanita tua itu terus berkomentar. Berbicara tanpa henti seperti dukun yang sedang mengucapkan mantra-mantra ajaib untuk kekuatan kliennya. Dikeluarkannya minyak berbau menyengat dari botol putih yang ia genggam.

Hiruplah ini Andra. Dan semoga kamu merasa lebih baik setelahnya. Ujar si wanita sambil mengoleskan sedikit minyak di kedua lubang hidung Diandra. Entah berasal dari apa minyak itu. Baunya lebih menyengat dari buah mengkudu, dan rasanya jauh lebih panas dari rebusan jahe yang biasa ia minum jika mimisan. Rasa mual menyelimuti Diandra, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menunjukkan itu. Ia hanya bisa pasrah menyerahkan dirinya mencium aroma menyengat.

Sudah berhari-hari Diandra hanya berbaring. Tidak ada yang ia lakukan selain merasakan aliran-aliran selang di sekujur tubuhnya. Di tangan, kaki, dan bagian lainnya. Selang yang terus bekerja siang malam memberikan asupan makanan untuk tubuhnya. Selang yang siang malam memantau keadaan tubuhnya.

Akhirnya sang matahari lelah juga. Dia membiarkan dirinya terbenam. Membiarkan detik demi detik berlalu tanpa melakukan apa-apa. Hanya beristirahat guna memulihkan keperkasaannya. Hari esok akan datang. Aku akan segera menunjukan lagi keagunganku. Bulan dan bintang serta kegelapan akan pergi saat cahayaku muncul kembali.

*****

Diandra bangun dari tidur lelapnya, huaamm..what a wonderful day katanya dalam hati. Dia pun mulai menggeliat untuk mengendurkan otot-otot yang sudah terlalu lama cuti dari kegiatan yang biasa mereka lakukan. Dengan perlahan Diandra turun dari ranjang rumah sakit bernuansa kayu itu.

Hmm..banyak kegiatan yang harus aku lakukan. Dimana agenda, dimana peralatan, mengapa mereka tidak ada di dekatku. Diganti seragam pasien yang lusuh itu dengan pakaian kebangsaannya, kaos dan jeans. Lalu Diandra keluar dari ruangan tempatnya beristirahat itu, perlahan agar tidak ada yang mengira kalau pasien yang bandel ini akhirnya mempunyai tenaga yang cukup juga untuk melarikan diri.

Suasana rumah sakit pada saat itu tampaknya sangat sepi sehingga dengan mudah Diandra pergi meninggalkan gedung tua dengan cat putih yang sudah terkelupas disana sini itu. Dengan sigap ia memberhentikan sebuah taksi yang melintas di depannya. Diberitahukannya tujuan kepada si supir taksi. Dan mereka pun melucur ke tempat yang dituju, menghindari beberapa kemacetan yang terjadi di tengah ibu kota, dan sedikit terhalang oleh lampu merah dan gangguan kecil para pengamen jalanan.

Akhirnya sampailah ia tempat yang ia tuju. Rumah mewah dengan halaman indah yang terhampar luas di depannya. Hah..home sweet home, pikirnya. Namun yang ia tuju bukan hanya rumahnya tapi lebih dari itu.

*** ***

Sepasang sayap putih telah muncul dari balik kaos tuanya. Disertai dengan rasa sakit yang sangat luar biasa. Sepasang sayap dengan bulu-buku halus berwarna putih keperakan, seperti sayap putih yang biasa dipakai para malaikat. Tapi yang membedakan hanya halo yang bersinar di kepala, benda itu tidak terdapat pada Diandra.

Diandra berusaha menahan rasa sakit yang teru menyerangnya. Ia duduk berlutut sambil mengatupkan kedua belah tangan, berdoa agar rasa sakit itu lekas pergi. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan tepukan lembut di bahu kanannya. Diandra pun menoleh untuk melihat siapa yang telah melakukan itu.

Seseorang dengan jubah putih telah mebgulurkan tangannya untuk membantu ia berdiri. Jubah berwarna putih keperakan yang sama dengan sayap Diandra. Tapi si jubah putih itu tidak memiliki sayap seperti yang ia miliki melainkan seberkas sinar yang ada tepat di atas kepalanya. Sebuah halo. Apa kau malaikat ? Tanya Diandra dalam hati.

Siapa kau ? Tanya Diandra pelan. Dia tak bias menyembunyikan rasa penasarannya terhadap sosok putih yang sekarang berdiri tepat di hadapannya. Tapi sosok itu tidak menjawab pertanyaan yang ditujukan untuknya. Ia hanya berjalan pelan sambil tetap menggandeng sebelah tangan Diandra. Berusaha menuntunnya ke suatu tempat.

Kau akan tau nanti. Jawab si sosok putih pelan namun jelas. Tanpa bertanya macam-macam lagi Diandra mengikuti instruksi si sosok putih. Ternyata tidak butuh waktu lama untuk Diandra menunggu karena ia telah sampai di sebuah ruangan dengan nuansa putih.

Apa kamu tau ini dimana ? Tanya si sosok putih. Diandra mencoba menerka dimana ia sekarang. Ia pun mulai berjalan mengitari ruangan itu, mencoba menerka dibalik segala perabotan yang juga bernuansa putih. Hingga sampailah ia di sebuah pintu. Dibukanya pintu itu dan dilihatnya sekumpulan orang yang tampaknya sedang memperhatikan sesuatu. Salah satu dari kumpulan orang itu berbalik menuju pintu tempat dimana Diandra berdiri. Orang itu memegang saputangan dan sedang menyeka air mata yang meluncur pelan diatas kedua pipinya. Lalu ia keluar tanpa menyadari keberadaan Diandra yang hanya berjarak beberapa senti dari dirinya.

Karena penasaran, Diandra mendekati kerumunan orang yang ada dihadapannya mencoba melihat apa sebenarnya yang sedang mereka perhatikan. Tampaknya orang-orang itu tidak menyadari keberadaannya, atau mungkin mereka tidak dapat melihat Diandra ada disini.

Diandra kaget dengan apa yang dilihat oleh kedua bola matanya. Seorang gadis berbaring damai di atas tempat tidur putihnya. Dikelilingi oleh kumpulan orang yang menangis kehilangan. Satu demi satu orang-orang itu berusaha mengelus, memberikan bunga, atau sekedar mengecup penuh kasih sayang.

Itu aku ? tanya Diandra pelan kepada si sosok putih. Apa yang terjadi ?

Dengan bijak si sosok putih menjawab semua pertanyaannya. Air mata tidak dapat dibendung, meluncur pelan dan lama kelamaan menjadi lebih cepat di atas kedua pipi merah jambunya.

Setelah semua pertanyaannya terjawab, Diandra duduk terjatuh mencoba meresapi setiap jawaban yang ia terima tadi. Air mata terus mengalir, air mata penyesalan setelah semua yang telah ia lakukan.

Andai saja ia tau lebih awal. Andai ia menyadari betapa banyak cinta yang ada di sekelilingnya. Andai ia mau menerima kalau ia hanya seoarang biasa yang memerlukan orang lain. Seorang wanita biasa yang juga memerlukan sedikit kasih sayang sebagai tempat bersandar di saat lelah.

Dulu ia terlalu gengsi untuk menunjukan itu semua. Dan sekarang segalanya telah terlambat, sesal memang datang belakangan. Waktu juga tidak bisa diputar kembali. Yang bisa ia lakukan kini hanya menangis meratapi penyesalannya. Pasrah terangkat dengan sinar putih terang yang menyinarinya dari atas. Bersama si sosok putih Diandra terangakat ke atas. Dengan air mata mata yang sekarang telah kering di atas pipinya, namun untuk pertama kali dalam hidupnya Diandra merasakan cinta di sudut hatinya. Terima kasih Tuhan karena telah memberikanku kesempatan merasakan cinta untuk terakhir kalinya. Dan senyum pun mengembang di wajah manis itu.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home