Anne.. by : BertusmeLetus
Anne
Beyond the door there's peace I'm sure.
And I know there'll be no more tears in heaven.
Would you know my name
if I saw you in heaven ?
Would you feel the same
if I saw you in heaven ?
I must be strong and carry on.
'Cause I know I don't belong here in heaven
(eric clapton – tears in heaven)
Kenapa waktu begitu cepat bergerak ketika kuinginkan ia bergerak lambat.
Dan kenapa ia berlalu begitu lambat saat kuinginkan ia berpindah dengan cepat.
***
Aku manusia yang begitu naïf.
Terkadang manusia menjadi sangat begitu dekat dengan-Nya hanya di saat mereka membutuhkan pertolongannya. Atau di saat sadar, hanya Ia yang punya keputusan. Kita hanya bisa berkehendak. Ia yang memutuskan.
Yah begitulah manusia.
Seperti kata Sigmund Freud. Manusia selalu membutuhkan sesosok kekuatan besar tempat dimana ia bisa berlindung dan meminta pertolongan dari sesatnya hidup ini.
Hanya di saat meminta dan membutuhkan.
Aku domba yang tersesat.
Mencari gembala untuk kembali ke jalan yang benar.
***
Dari sini bisa kulihat gundukan tanah berhiaskan warna bunga.
Indah.
Sempurna di tengah kesendiriannya, memainkan keterasingan.
Warna bunga itu selaras dengan warna hijau rumput segar di sekelilingnya. Temanku. Entah kenapa, rumput liar itu bisa tumbuh rapi mengitari tanpa ada yang merawat. Kehendak alam memang tak ada yang bisa menduga.
Janganlah pernah menduga.
Karena alam selalu berkehendak di saat yang tak pernah kau duga. Kehendak alam pulalah yang mengantar jiwanya terbang ke alam yang berbeda.
Teringat saat itu. Saat ia pergi tanpa beban melepaskan jiwa dari raga yang membelenggu seraya mengepakan dua sayapnya.
Tak lupa senyum manja menggantung di bibirnya.
***
Mana yang paling menyedihkan?
Saat kau harus pergi dari orang yang kau kasihi, atau saat kau melihat kepergian seseorang yang kau kasihi?
Atau.
Saat kau masih menyembunyikan kebenaran dan kejujuran di depan orang yang kau kasihi? Bahkan di saat-saat akhir ia sedang mendapatkan sakramen terakhir. Diurapi minyak suci dan percikan air yang diberkati surga.
***
Nafasnya mulai tersengal-sengal.
Aku sudah tak dapat merasa lagi kehangatan dan erat dari genggaman jemari lentiknya.
Kulit putih halus ini mulai terasa dingin. Perlahan ia mengendurkan genggamannya.
Samar-samar tiga kata sederhana meluncur dari bibirnya. Berpadu-padan dengan melodi khas ruang para pesakitan ini.
Beep…
beep…
beep…
beep…..
beep…………………………………..
Setelah itu tangis menyeruak. Air mata latah berjalan dari pelupuk mata. Mencari naungan tempat ia diam dan mongering. Meninggalkan bekas yang membuat tanda kesedihan.
Aku memilih berjalan keluar dari ruangan itu. Mencari satu tempat yang lebih sunyi. Membiarkan tangis hati berteriak dalam keheningan malam.
Malam itu.
Aku.
Akhirnya berdoa.
Berlutut.
Menyatukan sepuluh jari.
Memejamkan mata.
Aku.
Berharap kebahagiaanmu di nirwana..
Aku.
Tahu semua terlambat.
Namun akhirnya.
Kubuat tanda sakral itu.
Garis ilusi yang membelah.
Dari depan dahiku.
Turun ke tengah dadaku.
Lalu garis horizontal di kedua sisi pundakku.
In Nomine Patris.
Et Fili.
Et Spiritus. Sanctus.
Amen.
***
Mungkin ini sudah saatnya.
Tak mampu lagi kulihat mata bunda. Air mata yang menetes tinggallah sisa-sisa. Air mukanya menyiratkan kepedihan yang mendalam. Walau ia tahu anaknya tak berumur panjang, masih ia merasa berat untuk melepaskan kepergiannya.
***
Sudah satu bulan di tiap hari, kusinggahkan diri ini menemaninya.
Bertutur kata saling membagi sisa perasaan berpacu dengan waktu.
Di dalam ruangan putih bersih.
Aku jadi bertanya dalam hati. Hmm.. maaf aku koreksi sedikit. Aku bertanya didalam otak. Karena menurutku hati bukan tempat kita mencari jawaban yang rasional.
Hhh….
Wajahnya menyiratkan kebahagiaan yang begitu mendalam. Tak bosan aku memandang ke kedalaman matanya. Sesekali pantulan wajahku ada di bola matanya. Tuhan, buat semoga hatinya juga memantulkan sinar hatiku.
Astaga! Barusan aku memerintah Tuhan. (lagi?) Oh my dear, who am i?
Tak lama berselang ia mengangguk. Seakan ia bisa membaca apa yang ada di benakku.
Kugenggam jemarinya lebih erat. Kukecup keningnya.
Dan ia tersenyum.
***
Sepertinya kecenderungan manusia ingin menyamai Tuhan semakin terlihat. Atau memang Tuhan sekarang sedang memberikan sedikit kekuatannya kepada manusia? Bayangkan, tanpa wahyu apapun, sekarang manusia sudah dapat memprediksi sisa waktu hidup sesamanya dalam hitungan menit, jam, hari, minggu, bulan ataupun tahun.
Lupus.
Dulu yang identik dari kata lupus tuh, nggak jauh-jauh dari cerita konyol, lulu, mas kelik, boim, gusur, rambut mullet dan permen karet.
Ternyata penyakit ganas yang menyerang sel-sel darah ini pun bernama sama.
***
Dunia tak adil..!!! Ini benar-benar tak adil…!!!
Kenapa harus dia??
Semuanya hancur. Semua harapanku tiba-tiba sirna.
Aku bisa lihat dengan jelas perputaran roda duniaku sedang berhenti di sisi paling bawah.
Tuhan. Kalau Kau memang ada.
Coba rubahlah ini semua.
***
Ragu ia memberikan amplop itu.
Ada perasaan tak enak saat melihat label salah satu rumah sakit di amplop itu.
Kubuka amplop itu.
Ternyata hasil pemeriksaan tes medis.
Dan. APA??
POSITIF…?!!!
LUPUS??
***
Sudah tiga hari ini aku merasa ada perubahan di dalam dirinya. Tak seperti hari-hari sebelumnya, tiga hari ini banyak kuhabiskan bersama hanya di dalam kamarnya. Aku hanya menemaninya dan sesekali menjadi objek lukisannya yang sering tak kumengerti maknanya.
”….there’s a story inside each painting…”
Ia selalu berkata seperti itu.
Dan aku hanya mengangguk.
Hari ini ia mengaku merasa lebih lemah dari biasanya. Ah, mungkin itu tadi karena fisiknya terkuras mempersiapkan resital pianonya beberapa hari lalu. Baginya acara itu telah menguras hampir seluruh kekuatan dalam dirinya.
Belum pernah ku melihat orang yang se-perfeksionis dia. Ia memang beda. Ia tipe perempuan yang tahu apa yang ia mau di dalam hidupnya. Setiap pergerakan kemauannya adalah satu langkah awal kesuksesannya. Sudah kulihat ini dari setahun yang lalu. Di acara beberapa hari lalu ia menunjukannya sekali lagi.
Dan ketika kau akan bertanya seperti apa perempuan sexy itu.
Aku akan berkata. ”…that’s kind of sexy”
***
Tak seperti biasanya.
Kalau dulu aku selalu mencari persamaan di dalam diri seorang wanita, yang bahkan aku mencoba menyamakan apa yang sebenarnya susah bagiku untuk disamakan. Tapi sekarang dengan dirinya, aku merasa sama dalam segala hal. Bahkan terlalu sama.
Menghabiskan waktu sehari tak akan cukup untuk sekedar berwacana dengannya. Segala hal selalu kita pergunjingkan. Seakan-akan dunia adalah sebuah misteri yang selalu menarik untuk dipermasalahkan. Dan aku selalu luluh di depan wanita yang punya pengetahuan luas saat ia berbicara tentang dunia.
***
Dan apalah kita sekarang?
Berwacana tentang neraka jahanam di atas menara lonceng rumah Tuhan.
Sekedar melepas rindu. Menikmati cahaya bintang. Meresapi kerinduan. Menyemaikan asmara. Dan menengguk angur curian dari dalam rumah Tuhan.
Dari atas sini kita menantang angin yang terlambat membawa kabar baik darimu. Angin dari negeri kangguru tempat beberapa bulan lalu kau menimba ilmu. Angin tempat kau menitipkan kecup dan hasrat ingin bertemu denganku.
***
Hidup selalu bersanding dengan waktu.
Sabar.
Kata itu selalu bersandaran pada waktu pula.
Akhirnya kutemukan perempuan seperti dirimu.
Tuhan memang selalu punya rencana yang misterius.
Bekerja dengan tangan yang misterius pula.
Setelah berkali-kali aku memberi perasaan di sosok yang salah. Berkelana memahami jalan pemikiran dan menebak perasaan beberapa perempuan. Akhirnya aku bertemu juga orang sepertimu.
Berawal dari obrolan singkat. Kesamaan niat. Dan membagi ide dan kreatifitas di dalam proyek-proyek idealis kita itu. Kedekatan ini semakin terasa.
Dekat dan sangat dekat. Sampai suatu saat kau tak terlalu rikuh mengajakku sekedar main ke tempat kosmu di utara kota Paris Van Java itu. Tuk berbagi cerita dan pengalaman. Berbagi ruang dengan gerak angin malam yang mulai menyelinap lewat sela-sela pakaian.
Apakah ini yang namanya cinta?
Memang hanya cinta yang memperbolehkan dua insan saling membuat kejujuran, keterbukaan dan ketransparanan, untuk kemudian meletakkannya pada kekuatan emosi dan membuka rahasia-rahasia dimana laki-laki dan perempuan yang tunduk oleh sistem tak berani untuk mengunjukkannya.
Dan ternyata kau bukan tipe manusia yang selalu tunduk pada sistem, norma, atau aturan apalah itu. Kau lebih memilih untuk tunduk pada respon seksual dan emosimu. Dan di malam itu kita sepakat untuk merayakan hidup ini.
***
Anne Clarissa.
Apa jadinya ketika manusia lebih takut untuk kehilangan rasa cinta yang dimilikinya, daripada ketakutan untuk menghindari bahaya, kenistaan, nasib buruk, kelaparan dan kematian?
Apa jadinya menurutmu?
Aku masih ingat saat kau berwacana untuk terakhir kalinya.
Bagimu hidup adalah sebuah anugerah; apapun bentuknya.
Hidup adalah sebuah petualangan dengan berbagai kemungkinan; kenangan menjadi satu momentum yang patut dirayakan. Jatuh hati dan patah hati menjadi sebuah goresan yang mempercantik dan menggairahkan hidup. Kita tak pernah bisa melewatkan dua momen itu. Dengan cinta bagimu membuat hidup ini semakin bermakna, penuh arti, resiko dan larangan. Bukan materi yang membuat seseorang merasa hampa di dunia ini. Melainkan cinta yang belum tertemukan yang membuat seseorang merasa hampa di dunia ini. Dan kau mengucap syukur saat itu.
Aku bertanya kenapa.
Dan kau menjawab.
”…karena denganmu aku tak menemukan pembatasan definisi kata cinta yang lazim terdengar. Yakni seseuatu yang dianggap hanya terdapat pada malam minggu di restoran-restoran mewah ataupun fast food multinasional terkenal atau juga di bioskop-bioskop ternama yang menguras isi dompet, yang hanya memperkaya para pemilik modal dari perusahaan-perusahaan tersebut tanpa mempedulikan bagaimana buruh-buruh mereka bekerja tepat waktu siang malam dan menguras tenaganya disitu. Tapi lebih pada makna sesungguhnya; ; cinta yang berarti seperti sebuah bunga liar yang tumbuh dengan indah tanpa pernah diharapkan untuk muncul untuk kemudian dapat berkembang dengan sesuai harapan tanpa harus ada aturan baku dalam memeliharanya.”
Dan air mata semakin deras mengalir saat kenangan dari momentum hidup ini kembali terkuak.
Be alive in love, my dear….