si dhita punya cerita

...cerita sederhana dari ku untuk sahabat dan untuk ku dari sahabat...

My Photo
Name:
Location: Jakarta,,, Indonesia

an ordinary girl with an extra-ordinary dreams..

Friday, August 11, 2006

Anne.. by : BertusmeLetus

Anne

Beyond the door there's peace I'm sure.
And I know there'll be no more tears in heaven.
Would you know my name
if I saw you in heaven ?
Would you feel the same
if I saw you in heaven ?
I must be strong and carry on.
'Cause I know I don't belong here in heaven

(eric clapton – tears in heaven)

Kenapa waktu begitu cepat bergerak ketika kuinginkan ia bergerak lambat.

Dan kenapa ia berlalu begitu lambat saat kuinginkan ia berpindah dengan cepat.

***

Aku manusia yang begitu naïf.

Terkadang manusia menjadi sangat begitu dekat dengan-Nya hanya di saat mereka membutuhkan pertolongannya. Atau di saat sadar, hanya Ia yang punya keputusan. Kita hanya bisa berkehendak. Ia yang memutuskan.

Yah begitulah manusia.

Seperti kata Sigmund Freud. Manusia selalu membutuhkan sesosok kekuatan besar tempat dimana ia bisa berlindung dan meminta pertolongan dari sesatnya hidup ini.

Hanya di saat meminta dan membutuhkan.

Aku domba yang tersesat.

Mencari gembala untuk kembali ke jalan yang benar.

***

Dari sini bisa kulihat gundukan tanah berhiaskan warna bunga.

Indah.

Sempurna di tengah kesendiriannya, memainkan keterasingan.

Warna bunga itu selaras dengan warna hijau rumput segar di sekelilingnya. Temanku. Entah kenapa, rumput liar itu bisa tumbuh rapi mengitari tanpa ada yang merawat. Kehendak alam memang tak ada yang bisa menduga.

Janganlah pernah menduga.

Karena alam selalu berkehendak di saat yang tak pernah kau duga. Kehendak alam pulalah yang mengantar jiwanya terbang ke alam yang berbeda.

Teringat saat itu. Saat ia pergi tanpa beban melepaskan jiwa dari raga yang membelenggu seraya mengepakan dua sayapnya.

Tak lupa senyum manja menggantung di bibirnya.

***

Mana yang paling menyedihkan?

Saat kau harus pergi dari orang yang kau kasihi, atau saat kau melihat kepergian seseorang yang kau kasihi?

Atau.

Saat kau masih menyembunyikan kebenaran dan kejujuran di depan orang yang kau kasihi? Bahkan di saat-saat akhir ia sedang mendapatkan sakramen terakhir. Diurapi minyak suci dan percikan air yang diberkati surga.

***

Nafasnya mulai tersengal-sengal.

Aku sudah tak dapat merasa lagi kehangatan dan erat dari genggaman jemari lentiknya.

Kulit putih halus ini mulai terasa dingin. Perlahan ia mengendurkan genggamannya.

Samar-samar tiga kata sederhana meluncur dari bibirnya. Berpadu-padan dengan melodi khas ruang para pesakitan ini.

Beep…

beep…

beep…

beep…..

beep…………………………………..

Setelah itu tangis menyeruak. Air mata latah berjalan dari pelupuk mata. Mencari naungan tempat ia diam dan mongering. Meninggalkan bekas yang membuat tanda kesedihan.

Aku memilih berjalan keluar dari ruangan itu. Mencari satu tempat yang lebih sunyi. Membiarkan tangis hati berteriak dalam keheningan malam.

Malam itu.

Aku.

Akhirnya berdoa.

Berlutut.

Menyatukan sepuluh jari.

Memejamkan mata.

Aku.

Berharap kebahagiaanmu di nirwana..

Aku.

Tahu semua terlambat.

Namun akhirnya.

Kubuat tanda sakral itu.

Garis ilusi yang membelah.

Dari depan dahiku.

Turun ke tengah dadaku.

Lalu garis horizontal di kedua sisi pundakku.

In Nomine Patris.

Et Fili.

Et Spiritus. Sanctus.

Amen.

***

Mungkin ini sudah saatnya.

Tak mampu lagi kulihat mata bunda. Air mata yang menetes tinggallah sisa-sisa. Air mukanya menyiratkan kepedihan yang mendalam. Walau ia tahu anaknya tak berumur panjang, masih ia merasa berat untuk melepaskan kepergiannya.

***

Sudah satu bulan di tiap hari, kusinggahkan diri ini menemaninya.

Bertutur kata saling membagi sisa perasaan berpacu dengan waktu.

Di dalam ruangan putih bersih.

Aku jadi bertanya dalam hati. Hmm.. maaf aku koreksi sedikit. Aku bertanya didalam otak. Karena menurutku hati bukan tempat kita mencari jawaban yang rasional.

Hhh….

Wajahnya menyiratkan kebahagiaan yang begitu mendalam. Tak bosan aku memandang ke kedalaman matanya. Sesekali pantulan wajahku ada di bola matanya. Tuhan, buat semoga hatinya juga memantulkan sinar hatiku.

Astaga! Barusan aku memerintah Tuhan. (lagi?) Oh my dear, who am i?

Tak lama berselang ia mengangguk. Seakan ia bisa membaca apa yang ada di benakku.

Kugenggam jemarinya lebih erat. Kukecup keningnya.

Dan ia tersenyum.

***

Sepertinya kecenderungan manusia ingin menyamai Tuhan semakin terlihat. Atau memang Tuhan sekarang sedang memberikan sedikit kekuatannya kepada manusia? Bayangkan, tanpa wahyu apapun, sekarang manusia sudah dapat memprediksi sisa waktu hidup sesamanya dalam hitungan menit, jam, hari, minggu, bulan ataupun tahun.

Lupus.

Dulu yang identik dari kata lupus tuh, nggak jauh-jauh dari cerita konyol, lulu, mas kelik, boim, gusur, rambut mullet dan permen karet.

Ternyata penyakit ganas yang menyerang sel-sel darah ini pun bernama sama.

***

Dunia tak adil..!!! Ini benar-benar tak adil…!!!

Kenapa harus dia??

Semuanya hancur. Semua harapanku tiba-tiba sirna.

Aku bisa lihat dengan jelas perputaran roda duniaku sedang berhenti di sisi paling bawah.

Tuhan. Kalau Kau memang ada.

Coba rubahlah ini semua.

***

Ragu ia memberikan amplop itu.

Ada perasaan tak enak saat melihat label salah satu rumah sakit di amplop itu.

Kubuka amplop itu.

Ternyata hasil pemeriksaan tes medis.

Dan. APA??

POSITIF…?!!!

LUPUS??

***

Sudah tiga hari ini aku merasa ada perubahan di dalam dirinya. Tak seperti hari-hari sebelumnya, tiga hari ini banyak kuhabiskan bersama hanya di dalam kamarnya. Aku hanya menemaninya dan sesekali menjadi objek lukisannya yang sering tak kumengerti maknanya.

”….there’s a story inside each painting…”

Ia selalu berkata seperti itu.

Dan aku hanya mengangguk.

Hari ini ia mengaku merasa lebih lemah dari biasanya. Ah, mungkin itu tadi karena fisiknya terkuras mempersiapkan resital pianonya beberapa hari lalu. Baginya acara itu telah menguras hampir seluruh kekuatan dalam dirinya.

Belum pernah ku melihat orang yang se-perfeksionis dia. Ia memang beda. Ia tipe perempuan yang tahu apa yang ia mau di dalam hidupnya. Setiap pergerakan kemauannya adalah satu langkah awal kesuksesannya. Sudah kulihat ini dari setahun yang lalu. Di acara beberapa hari lalu ia menunjukannya sekali lagi.

Dan ketika kau akan bertanya seperti apa perempuan sexy itu.

Aku akan berkata. ”…that’s kind of sexy”

***

Tak seperti biasanya.

Kalau dulu aku selalu mencari persamaan di dalam diri seorang wanita, yang bahkan aku mencoba menyamakan apa yang sebenarnya susah bagiku untuk disamakan. Tapi sekarang dengan dirinya, aku merasa sama dalam segala hal. Bahkan terlalu sama.

Menghabiskan waktu sehari tak akan cukup untuk sekedar berwacana dengannya. Segala hal selalu kita pergunjingkan. Seakan-akan dunia adalah sebuah misteri yang selalu menarik untuk dipermasalahkan. Dan aku selalu luluh di depan wanita yang punya pengetahuan luas saat ia berbicara tentang dunia.

***

Dan apalah kita sekarang?

Berwacana tentang neraka jahanam di atas menara lonceng rumah Tuhan.

Sekedar melepas rindu. Menikmati cahaya bintang. Meresapi kerinduan. Menyemaikan asmara. Dan menengguk angur curian dari dalam rumah Tuhan.

Dari atas sini kita menantang angin yang terlambat membawa kabar baik darimu. Angin dari negeri kangguru tempat beberapa bulan lalu kau menimba ilmu. Angin tempat kau menitipkan kecup dan hasrat ingin bertemu denganku.

***

Hidup selalu bersanding dengan waktu.

Sabar.

Kata itu selalu bersandaran pada waktu pula.

Akhirnya kutemukan perempuan seperti dirimu.

Tuhan memang selalu punya rencana yang misterius.

Bekerja dengan tangan yang misterius pula.

Setelah berkali-kali aku memberi perasaan di sosok yang salah. Berkelana memahami jalan pemikiran dan menebak perasaan beberapa perempuan. Akhirnya aku bertemu juga orang sepertimu.

Berawal dari obrolan singkat. Kesamaan niat. Dan membagi ide dan kreatifitas di dalam proyek-proyek idealis kita itu. Kedekatan ini semakin terasa.

Dekat dan sangat dekat. Sampai suatu saat kau tak terlalu rikuh mengajakku sekedar main ke tempat kosmu di utara kota Paris Van Java itu. Tuk berbagi cerita dan pengalaman. Berbagi ruang dengan gerak angin malam yang mulai menyelinap lewat sela-sela pakaian.

Apakah ini yang namanya cinta?

Memang hanya cinta yang memperbolehkan dua insan saling membuat kejujuran, keterbukaan dan ketransparanan, untuk kemudian meletakkannya pada kekuatan emosi dan membuka rahasia-rahasia dimana laki-laki dan perempuan yang tunduk oleh sistem tak berani untuk mengunjukkannya.

Dan ternyata kau bukan tipe manusia yang selalu tunduk pada sistem, norma, atau aturan apalah itu. Kau lebih memilih untuk tunduk pada respon seksual dan emosimu. Dan di malam itu kita sepakat untuk merayakan hidup ini.

***

Anne Clarissa.

Apa jadinya ketika manusia lebih takut untuk kehilangan rasa cinta yang dimilikinya, daripada ketakutan untuk menghindari bahaya, kenistaan, nasib buruk, kelaparan dan kematian?

Apa jadinya menurutmu?

Aku masih ingat saat kau berwacana untuk terakhir kalinya.

Bagimu hidup adalah sebuah anugerah; apapun bentuknya.

Hidup adalah sebuah petualangan dengan berbagai kemungkinan; kenangan menjadi satu momentum yang patut dirayakan. Jatuh hati dan patah hati menjadi sebuah goresan yang mempercantik dan menggairahkan hidup. Kita tak pernah bisa melewatkan dua momen itu. Dengan cinta bagimu membuat hidup ini semakin bermakna, penuh arti, resiko dan larangan. Bukan materi yang membuat seseorang merasa hampa di dunia ini. Melainkan cinta yang belum tertemukan yang membuat seseorang merasa hampa di dunia ini. Dan kau mengucap syukur saat itu.

Aku bertanya kenapa.

Dan kau menjawab.

”…karena denganmu aku tak menemukan pembatasan definisi kata cinta yang lazim terdengar. Yakni seseuatu yang dianggap hanya terdapat pada malam minggu di restoran-restoran mewah ataupun fast food multinasional terkenal atau juga di bioskop-bioskop ternama yang menguras isi dompet, yang hanya memperkaya para pemilik modal dari perusahaan-perusahaan tersebut tanpa mempedulikan bagaimana buruh-buruh mereka bekerja tepat waktu siang malam dan menguras tenaganya disitu. Tapi lebih pada makna sesungguhnya; ; cinta yang berarti seperti sebuah bunga liar yang tumbuh dengan indah tanpa pernah diharapkan untuk muncul untuk kemudian dapat berkembang dengan sesuai harapan tanpa harus ada aturan baku dalam memeliharanya.”

Dan air mata semakin deras mengalir saat kenangan dari momentum hidup ini kembali terkuak.

Be alive in love, my dear….

Diandra..

Untuk kesekian kalinya Diandra memalingkan kepala agar dapat lebih mudah melihat pantulan punggungnya di cermin. Sama. Tidak ada yang ganjil pada punggung ini. Yang ia lihat hanyalah pantulan tubuhnya dalam balutan kaos tua.

Huh..sayap itu belum juga mencuat keluar.

Sayap yang sangat ia harapkan agar mempermudah ia untuk hidup.

Kapan sayap itu muncul. Tidak ada yang tau.

Andra, biarkan kami membantumu.

Kamu tidak bisa melakukan segalanya sesuatunya sendiri.

Kamu butuh orang lain untuk membantumu.

Kata-kata itu terus bergema di dalam pikirannya, sampai-sampai menembus batas antara logika dan alam bawah sadar. Kata demi kata terangkai abstrak. Terus meneriakkan makna yang sama. Terus. Tanpa henti.

Keringat bercucuran dari tubuhnya, mengalir membasahi setiap lekukan. Memberikan noda tersendiri pada gaun tidurnya. Dengan nafas sedikit tersengal Diandra bangun dari tidurnya yang tidak bisa dibilang pulas. Kata-kata itu masih mengiang, berkali-kali memaksa untuk didengar dan diperhatikan. Keras sekali hingga membuatnya berpikiran kalau ada seseorang yang turut membantu menggemakan kata demi kata di kedua telinganya.

Aku kuat. Aku bisa menyelesaikan semua. Ujarnya sebelum masuk ke kamar mandi guna memulai hari.

*

Alat-alat tulis mengantri untuk masuk ke dalam tas besar berwarna hijau itu. Dengan cepat mereka berkelompok dan menempati posisi yang sudah ditentukan sebelumnya. Hm..suatu awal yang baik untuk memulai hari yang cerah. Diandra melingkarkan tali tas pada kedua bahu kokohnya. Lalu dia mulai sibuk mengendalikan laju motor besar itu.

Terlalu besar untuk seorang wanita. Lagi-lagi kalimat itu terngiang. Ya, motor yang tidak sebanding dengan ukuran tubuhnya. Huh lagi-lagi soal ukuran. Namun itu tidak mengurangi niat untuk membeli dan membayar motor besar itu dengan seluruh hasil kerja kerasnya selama ini. Memang ukuran tidak sebanding, tapi kepuasan yang ia dapatkan melebihi seluruh isi alam semesta.

Hanya pria yang mempersoalkan mengenai ukuran, dan Diandra bukan pria. Tapi ia juga tidak mau menyebut dirinya sebagai wanita.

Knalpot berhenti berderu di depan sebuah bangunan. Bangunan tinggi dengan banyak jendala di setiap sisinya. Di setiap sudut terdapat taman yang indah, tidak lupa dihiasi dengan kursi kayu berlengan tempat para mahasiswa berdiskusi dan mengerjakan tugas mereka. Setelah memarkir kuda besi pada tempatnya.

Diandra menjejakkan kakinya menuju ke sebuah ruangan tepat di seberang tangga di bagian barat kampus. Dibukanya pintu kayu itu, dan ia pun masuk. Ruangan yang tidak begitu besar, hanya berukuran 3x3 meter dan tampak makin sempit karena banyaknya lemari yang dijejalkan masuk. Lantai yang tadinya tertutup karpet merah tua juga sudah berubah menjadi tumpukan kertas yang berserakan. Saling tindih menindih satu sama lain.

Tugas pertama Diandra di hari ini, sebelum ia menyelesaikan berbagai proposal dan tumpukan surat yang harus segera ia kirimkan untuk ditandatangani oleh para petinggi kampus. Huh..lelah ? Tidak, jawab Diandra yakin. Aku kuat. Aku bisa menyelesaikan semua. Untuk kesekian kalinya Diandra mengucapkan kalimat tersebut di dalam hati. Kalimat tersebut sepertinya sudah terpatri di dinding hati dan pikirannya. Sama seperti dua kalimat syahadad yang ia lantunkan lima waktu dalam sehari.

Matahari yang perkasa akhirnya lelah juga. Memilih untuk beristirahat sejenak dan meminta sang bulan untuk menggantikannya sesaat. Tapi tidak untuk Diandra. Diandra masih berkutat di depan komputer, jari-jari mungilnya menari diatas tuts keyboard guna memunculkan huruf demi huruf di dalam monitor pikirannya. Tidak ada yang dapat menghentikannya bekerja. Terus dan terus. Tidak peduli apakah sekarang jam kerja sang matahari atau si ratu malam. Ia terus bekerja. Tidak peduli laparnya perut ini, tidak peduli dengan jarum jam yang terus bergerak.

Akhirnya senyum itu muncul juga. Kembali dilihatnya lembaran kertas sekali lagi. Yap, selesai. Ujarnya pelan di tengah hening malam. Diputarnya kunci yang masih menggantung pada lubangnya. Tanpa lupa mematikan lampu, Diandra keluar menuju tempat kuda besi itu tertidur. Dengan lembut ia bangunkan dan suara ringkikan yang keras pun menderu kembali dari knalpot berukuran besar.

Tidak butuh waktu lama untuk Diandra melalui jalan besar di ibukota. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat di waktu selarut itu. Diandra sedikit memperlambat lajunya ketika ia melewati taman kota. Hm..indah. Taman yang sepi dengan seorang pria yang sedang tertidur pada salah satu bangkunya. Seorang pria yang berusaha mencari sedikit perlindungan di tengah belantara hutan metropolitan ini.

Mengapa di tengah hujan cahaya warna-warni yang sangat indah ini masih ada titik abu abu di salah satu sudutnya. Di saat para pria necis berdasi meluncur diatas kendaraan mewahnya, masih ada satu keluarga yang berjuang hanya untuk sebutir beras. Satu hal yang sangat memilukan hati. Diparkirkannya motor itu di bawah pancaran lampu taman yang terdekat. Selembar uang berwarna merah muda telah keluar dari dompet kulit, dan telah terlipat manis dalam genggaman layaknya sebuah origami.

Pria itu ternyata jauh lebih lusuh jika dilihat dari jarak hanya semeter. Diandra sekali lagi melipat kecil kertas merah mudah dalam genggamannya. Kemudian ia selipkan kertas tersebut di saku kiri pria tengah baya yang sedang tertidur pulas di hadapannya. Pakailah uang ini pak, mungkin kau lebih membutuhkannya. Belilah makanan untuk esok pagi, dan belilah pakaian baru atau selimut sebagai pertahanan di tengah rimba ini. Kau lebih membutuhkan kertas ini daripada aku. Jauh lebih membutuhkan.

**

Diandra Agustine, mengapa kau tidak pernah mau mendengarkan ? Tidak adakah waktu untuk ku sedikit saja.

Suara itu terlontar cepat dari mulut seorang pria. Diandra secara otomatis langsung mencari dari mana arah suara itu berasal. Seorang pria berdiri tepat di depannya. Meriakkan kata demi kata yang sama sekali ia acuhkan sejak satu jam ini. Pikirannya berusaha mencerna kata-kata itu, namun hati tidak bekerja sama sekali. Hatinya telah mati.

Hubungan yang tadinya indah itu telah berubah 180 derajat, sama seperti perubahan persepsi terhadap hidup masing-masing. Yang Diandra inginkan dalam hidup ini hanyalah bekerja dan bekerja. Menempuh segala liku guna mengembangkan apa yang ada di dalam diri.

Andra, aku ingin membantumu. Biarkan aku ada di dalam kehidupanmu. Tidakkah kau lelah. Tidakkah kau menginginkan tempat nyaman untuk bahumu bersandar. Biarkan aku menjadi tempat itu.

Aku bisa sendiri. Aku bisa mengerjakan segala sesuatunya tanpa bantuan orang lain. Aku bisa. Dengan cepat Diandra mengatakan kalimat itu, tidak secepat ketika pria itu menyebut namanya. Tidak cepat, namun jauh lebih jelas.

Ia tetap berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar. Pandangannya tidak dapat lepas dari gadis itu. Gadis dengan kaos dan jeans yang sedang berjalan menjauhinya. Aku tidak akan pergi. Aku akan selau ada di sini untuk menunggumu. Selama apapun itu. Aku akan selalu mencintaimu.

***

Rasa sakit itu kembali muncul. Diandra sedikit mengerang sambil berusaha tetap bertahan atas rasa sakit yang sedang dirasakannya. Ada yang menyayat lapisan kulit di punggungnya. Menyayat dari arah bahu menuju sampai ke bagian pinggang. Terus menerus. Dengan sebuah pisau tajam. Pelan tapi terasa sakitnya.

Au…erang Diandra pelan. Dipalingkan kepalanya agar lebih jelas melihat ada apa dengan punggungnya itu. Tidak ada apa-apa. Aneh. Rasa nyeri hingga menembus tulang akhirnya hilang, dan berganti dengan rasa lelah yang hampir membuatnya roboh.

Aku kuat. Aku tidak boleh lelah di saat seperti ini, masih banyak yang harus aku lakukan. Tapi gaya gravitasi rupanya begitu kuat, sehingga kaki yang sudah tidak mampu lagi menopang, membiarkan tubuh kokoh itu jatuh juga. Rasa sakit membentur kerikil tidak terasa. Yang kini ia rasakan hanyalah perasaan bebas dan lepas. Damai sekali. Tidak ada lagi beban yang harus kupikul, batin Diandra di dalam tidurnya.

****

Sudah aku bilang berapa kali, biarkanlah kami membantumu. Kegiatan yang kau lakukan terlalu banyak. Beristirahatlah. Bahkan matahari yang agung pun butuh istirahat.

Wanita tua itu terus berkomentar. Berbicara tanpa henti seperti dukun yang sedang mengucapkan mantra-mantra ajaib untuk kekuatan kliennya. Dikeluarkannya minyak berbau menyengat dari botol putih yang ia genggam.

Hiruplah ini Andra. Dan semoga kamu merasa lebih baik setelahnya. Ujar si wanita sambil mengoleskan sedikit minyak di kedua lubang hidung Diandra. Entah berasal dari apa minyak itu. Baunya lebih menyengat dari buah mengkudu, dan rasanya jauh lebih panas dari rebusan jahe yang biasa ia minum jika mimisan. Rasa mual menyelimuti Diandra, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menunjukkan itu. Ia hanya bisa pasrah menyerahkan dirinya mencium aroma menyengat.

Sudah berhari-hari Diandra hanya berbaring. Tidak ada yang ia lakukan selain merasakan aliran-aliran selang di sekujur tubuhnya. Di tangan, kaki, dan bagian lainnya. Selang yang terus bekerja siang malam memberikan asupan makanan untuk tubuhnya. Selang yang siang malam memantau keadaan tubuhnya.

Akhirnya sang matahari lelah juga. Dia membiarkan dirinya terbenam. Membiarkan detik demi detik berlalu tanpa melakukan apa-apa. Hanya beristirahat guna memulihkan keperkasaannya. Hari esok akan datang. Aku akan segera menunjukan lagi keagunganku. Bulan dan bintang serta kegelapan akan pergi saat cahayaku muncul kembali.

*****

Diandra bangun dari tidur lelapnya, huaamm..what a wonderful day katanya dalam hati. Dia pun mulai menggeliat untuk mengendurkan otot-otot yang sudah terlalu lama cuti dari kegiatan yang biasa mereka lakukan. Dengan perlahan Diandra turun dari ranjang rumah sakit bernuansa kayu itu.

Hmm..banyak kegiatan yang harus aku lakukan. Dimana agenda, dimana peralatan, mengapa mereka tidak ada di dekatku. Diganti seragam pasien yang lusuh itu dengan pakaian kebangsaannya, kaos dan jeans. Lalu Diandra keluar dari ruangan tempatnya beristirahat itu, perlahan agar tidak ada yang mengira kalau pasien yang bandel ini akhirnya mempunyai tenaga yang cukup juga untuk melarikan diri.

Suasana rumah sakit pada saat itu tampaknya sangat sepi sehingga dengan mudah Diandra pergi meninggalkan gedung tua dengan cat putih yang sudah terkelupas disana sini itu. Dengan sigap ia memberhentikan sebuah taksi yang melintas di depannya. Diberitahukannya tujuan kepada si supir taksi. Dan mereka pun melucur ke tempat yang dituju, menghindari beberapa kemacetan yang terjadi di tengah ibu kota, dan sedikit terhalang oleh lampu merah dan gangguan kecil para pengamen jalanan.

Akhirnya sampailah ia tempat yang ia tuju. Rumah mewah dengan halaman indah yang terhampar luas di depannya. Hah..home sweet home, pikirnya. Namun yang ia tuju bukan hanya rumahnya tapi lebih dari itu.

*** ***

Sepasang sayap putih telah muncul dari balik kaos tuanya. Disertai dengan rasa sakit yang sangat luar biasa. Sepasang sayap dengan bulu-buku halus berwarna putih keperakan, seperti sayap putih yang biasa dipakai para malaikat. Tapi yang membedakan hanya halo yang bersinar di kepala, benda itu tidak terdapat pada Diandra.

Diandra berusaha menahan rasa sakit yang teru menyerangnya. Ia duduk berlutut sambil mengatupkan kedua belah tangan, berdoa agar rasa sakit itu lekas pergi. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan tepukan lembut di bahu kanannya. Diandra pun menoleh untuk melihat siapa yang telah melakukan itu.

Seseorang dengan jubah putih telah mebgulurkan tangannya untuk membantu ia berdiri. Jubah berwarna putih keperakan yang sama dengan sayap Diandra. Tapi si jubah putih itu tidak memiliki sayap seperti yang ia miliki melainkan seberkas sinar yang ada tepat di atas kepalanya. Sebuah halo. Apa kau malaikat ? Tanya Diandra dalam hati.

Siapa kau ? Tanya Diandra pelan. Dia tak bias menyembunyikan rasa penasarannya terhadap sosok putih yang sekarang berdiri tepat di hadapannya. Tapi sosok itu tidak menjawab pertanyaan yang ditujukan untuknya. Ia hanya berjalan pelan sambil tetap menggandeng sebelah tangan Diandra. Berusaha menuntunnya ke suatu tempat.

Kau akan tau nanti. Jawab si sosok putih pelan namun jelas. Tanpa bertanya macam-macam lagi Diandra mengikuti instruksi si sosok putih. Ternyata tidak butuh waktu lama untuk Diandra menunggu karena ia telah sampai di sebuah ruangan dengan nuansa putih.

Apa kamu tau ini dimana ? Tanya si sosok putih. Diandra mencoba menerka dimana ia sekarang. Ia pun mulai berjalan mengitari ruangan itu, mencoba menerka dibalik segala perabotan yang juga bernuansa putih. Hingga sampailah ia di sebuah pintu. Dibukanya pintu itu dan dilihatnya sekumpulan orang yang tampaknya sedang memperhatikan sesuatu. Salah satu dari kumpulan orang itu berbalik menuju pintu tempat dimana Diandra berdiri. Orang itu memegang saputangan dan sedang menyeka air mata yang meluncur pelan diatas kedua pipinya. Lalu ia keluar tanpa menyadari keberadaan Diandra yang hanya berjarak beberapa senti dari dirinya.

Karena penasaran, Diandra mendekati kerumunan orang yang ada dihadapannya mencoba melihat apa sebenarnya yang sedang mereka perhatikan. Tampaknya orang-orang itu tidak menyadari keberadaannya, atau mungkin mereka tidak dapat melihat Diandra ada disini.

Diandra kaget dengan apa yang dilihat oleh kedua bola matanya. Seorang gadis berbaring damai di atas tempat tidur putihnya. Dikelilingi oleh kumpulan orang yang menangis kehilangan. Satu demi satu orang-orang itu berusaha mengelus, memberikan bunga, atau sekedar mengecup penuh kasih sayang.

Itu aku ? tanya Diandra pelan kepada si sosok putih. Apa yang terjadi ?

Dengan bijak si sosok putih menjawab semua pertanyaannya. Air mata tidak dapat dibendung, meluncur pelan dan lama kelamaan menjadi lebih cepat di atas kedua pipi merah jambunya.

Setelah semua pertanyaannya terjawab, Diandra duduk terjatuh mencoba meresapi setiap jawaban yang ia terima tadi. Air mata terus mengalir, air mata penyesalan setelah semua yang telah ia lakukan.

Andai saja ia tau lebih awal. Andai ia menyadari betapa banyak cinta yang ada di sekelilingnya. Andai ia mau menerima kalau ia hanya seoarang biasa yang memerlukan orang lain. Seorang wanita biasa yang juga memerlukan sedikit kasih sayang sebagai tempat bersandar di saat lelah.

Dulu ia terlalu gengsi untuk menunjukan itu semua. Dan sekarang segalanya telah terlambat, sesal memang datang belakangan. Waktu juga tidak bisa diputar kembali. Yang bisa ia lakukan kini hanya menangis meratapi penyesalannya. Pasrah terangkat dengan sinar putih terang yang menyinarinya dari atas. Bersama si sosok putih Diandra terangakat ke atas. Dengan air mata mata yang sekarang telah kering di atas pipinya, namun untuk pertama kali dalam hidupnya Diandra merasakan cinta di sudut hatinya. Terima kasih Tuhan karena telah memberikanku kesempatan merasakan cinta untuk terakhir kalinya. Dan senyum pun mengembang di wajah manis itu.

Saturday, August 05, 2006

abittersweet

26 Juni 2006

Suara tangisan bayi membangunkan ku pagi ini. Huh berisik banget sih, pikirku seraya meraih handphone yang aku letakkan di bawah bantal. Baru pukul 6 pagi rupanya. Masih ada dua jam sebelum tasya datang menjemputku. Tidur sedikit lagi gak dosa kan ?

Selimut pun ku tarik menutupi seluruh badanku sampai ke kepala. Huaamm..berat benar mataku. Sekejap kemudian aku langsung tertidur kembali.

Belum sempat memasuki gerbang mimpi, lagi-lagi aku ditarik ke dunia nyata. Bukan dengan suara berisik seperti yang pertama, namun kali ini dengan sebuah usapan lembut di pipiku. Sepasang tangan mungil mencoba meraih hidungku. Sangat lembut. Dan aku bisa langsung mengenalinya. Ah kamu toh. Perlahan ku buka selimutku dan dia ada disampingku. Merangkak pelan di dalam balutan piyama merah muda yang aku belikan di Tanah Abang dulu.

Dulu. Dulu sekali. Aku hampir lupa kapan segalanya dimulai. Semua hal baru yang melahirkan kegiatan dan kebiasaan baru ini telah merubah seluruh hidup ku. Dengan lembut kuraih pemilik tangan mungil yang dari tadi masih mencoba meraih dan bereksperimen dengan hidung ku.

Arinda Metania Prameswara

Kaulah pemilik hidupku sekarang. Segala yang aku miliki, segala yang aku lakukan, segala hal dan harapan yang ingin dan akan aku raih. Semuanya. Semuanya akan aku berikan kepadamu. Akan kucurahkan hanya untuk mu. Apapun akan aku lakukan untuk kebahagiaanmu. Sekarang dan seterusnya. Selalu akan terus seperti itu.

***

20 Maret 2005

04.39

Lalu lalang orang di depan kamar tidur ku menyudahi mimpi indah malam ini. Masih sangat dini untuk melakukan aktifitas, karena pada saat ini matahari saja belum menampakkan keagungannya. Ayam jantan tetangga sebelah pun belum berkokok menyambut hari. Tapi sepertinya tidak ada yang bisa menghalangi para penghuni rumah untuk bergerak. Bergerak dan bergerak. Mengecek segala sesuatu pada tempatnya. Menyakinkan diri kalau hal-hal detail sudah siap untuk digunakan. Terus bergerak dan melakukan sesuatu yang sangat penting untuk hari ini.

Sampai pada satu saat sesosok penghuni berhenti bergerak di depan pintu kamarku. Bisa kulihat bayangannya melalui celah pintu kayu berwarna putih itu. Tidak jelas memang, tapi cukup jelas untuk menyakinkanmu kalau ada sesuatu yang berdiri tepat di depan pintu kamarmu. Suara ketokan lembut menarik aku yang memang sudah bangun dari tadi untuk beranjak dan menuju ke arah suara ketukan tersebut.

“Semua sudah siap mbak”. Kata si pelaku pengetukan yang makin memaksaku untuk membuka pintu tersebut.

“Oh..iya. Aku 10 menit lagi siap. Siapin aja barang-barang yang harus dibawa”. Jawabku sambil mencopot rol rambut yang masih melingkar di poniku.

07.27

Riasan make up telah menghiasi wajah ku. Softlens berwarna coklat juga telah aku pasang sebelum sang perias membubuhkan warna demi warna di kanvas yang tak lain adalah wajah ku. Hanya pada hari hari penting saja aku menanggalkan kacamata bingkai hitam tebalku dengan sepasang softlens. Hanya pada hari yang benar-benar memaksaku untuk tampil maksimal. Dan inilah hari itu.

Au…rasa sakit sesaat telah membangunkanku dari lamunan sesaat. Seseorang sedang melakukan eksperimen sederhana dengan rambut yang tumbuh di kepalaku. Orang menamakan kegiatan ini menyasak atau bahasa yang lazim digunakan oleh para ibu pejabat yang hendak menghadiri arisan sebagai acara masang sanggul.

“Aduh. Mbak pelan pelan dong nyasaknya”. Ujarku sedetik sebelum ia makin keras menarik narik rambutku.

“Kekencengan ya mbak ? Maaf yah, saya engga tau”. Jawabnya sedikit mengelak atas perbuatan yang telah ia lakukan.

Huh..ternyata dia baru sadar akan perbuatannya setelah aku kasih tau. Heran, kenapa orang seperti ini bisa-bisanya dipekerjakan di salon yang sebagus ini. Apa tidak ada tes masuk bagi para karyawan yang hendak dipekerjakan. Atau jangan-jangan ia hanya seoarang pembantu dari pemilik salon yang terpaksa dibawa pagi-pagi untuk mengurusi setidaknya puluhan kepala untuk dipasangi rangkaian rambut buatan di atasnya.

Kasian si pemilik salon. Sepertinya dia butuh kaca mata baru agar lain kali dia bisa membedakan mana pembantu rumah tangganya dan mana pegawai yang ia pekerjakan di salonnya. Atau mungkin si pemilik salon sedang dibelit hutang yang cukup berat sehingga ia harus rela melepas pegawai-pegawai terbaiknya. Sebagai gantinya ia mulai mencanangkan status ganda bagi seluruh orang di rumahnya. Ya sebagai pembantu rumah tangga, juga sebagai pegawai salon. Ya sebagai keluarga, juga sebagai pegawai salon. Pokoknya siapa pun yang ia kenal dan masih memiliki sepasang tangan sempurna akan ia pekerjakan sebagai pegawai di salonnya. Tidak peduli memiliki ketrampilan menyalon atau tidak, yang penting ada orang yang cukup untuk hari yang penting ini.

09.48

Aku berdiri di atas panggung kecil di aula suatu masjid yang tidak jauh dari rumah ku. Puluhan atau bahkan ratusan orang mengantri untuk naik ke atas panggung untuk menyalami ratu sehari ini. Beberapa diantaranya aku kenal dan sisanya mungkin hanya orang iseng yang cuma ingin makan siang gratis saja.

Cantik. Itulah komentar orang yang menyalami ku. Semuanya memperlihatkan wajah bahagia. Senyum lebar tidak henti-hentinya mewarnai wajah mereka. Demi kesopanan aku pun membalas senyum senyum itu. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Hah..sudah tak terhitung lagi jumlah senyuman yang aku balas dengan senyuman juga.

Lelah. Bukan lelah berdiri sejak beberapa jam yang lalu. Bukan lelah memakai sanggul yang beratnya hampir sama dengan seplastik telur yang biasa aku beli di warung. Bukan lelah karena riasan wajah yang sedikit demi sedikit mulai luncur terkena keringatku. Bukan. Bukan itu. Bukan lelah secara fisik yang bisa dengan mudah aku sembuhkan dengan perawatan spa sehari. Jauh didalam diri ku lelah itu berasal. Uff..lelah...

Untuk kesekian kalinya aku hembuskan nafas ku, berharap akan datang sedikit kelegaan yang aku cari. Tapi percuma. Dan sekejap kemudian aku kembali berusaha memasang senyum semanis-manisnya. Semoga saja sang perias tadi cukup mahir dalam membubuhkan mantra-mantra kecantikan dalam diriku. Jadi orang lain tidak perlu tau kalau senyum yang menghiasi wajahku saat ini juga sebuah riasan untuk menyembunyikan apa yang ada jauh di dalam hatiku.

19.12

“Yang, kamu makan dulu sana. Tadi siang kan kamu makannya Cuma sedikit”. Suara lembut itu mengalun di sampingku.

“Iya. Kamu makan duluan aja. Bentar lagi aku nyusul mas”. Jawabku sambil tersenyum.

Pria itu pun keluar dari kamar. Tapi tidak lama kemudian dia kembali dengan nampan yang berisi nasi beserta lauk pauknya. Tidak lupa segelas susu dan beberapa butir kapsul vitamin.

“Makasih yah. Udah kamu makan juga sana. Aku bisa kok makan sendiri, gak usah pake disuapin segala”.

“ Ya udah. Tapi diabisin yah. Jangan lupa vitaminnya lho”.

Setelah mengecup keningku, pria tersebut kembali keluar dari kamar. Aku pun mengantarkannya sampai di depan pintu. Pintu langsung aku tutup dan aku kunci begitu ku lihat si pria berbelok ke arah ruang makan. Kemudian aku berdiri tegak di depan cermin besar yang berada di seberang pintu itu.

Gendut. Kata yang paling tepat untuk menggambarkan diriku. Lebih cocok menjadi badut ancol daripada seorang ratu sehari. Kebaya merah tua itu melekat ketat pada tubuhku yang makin membuncit. Bukan keanggunan yang dapat kulihat tapi perasaan yang jauh berbeda dari itu.

Satu demi satu aku lepas kancing kebaya itu dan ku ganti dengan sepotong daster motif batik yang lebih longgar dan nyaman. Kuamati sekali lagi tubuh buncit ku. Sambil menghabiskan makan malam ku, ku elus lembut bagian perut dari tubuh buncit ini. Mama disini nak, kamu gak usah khawatir. Apapun demi kebahagian kamu. Apapun nak. Apapun.

***

… Desember 2004

Bekas air mata masih ada di pipi kiri dan kanan ku. Warna merah pun mewarnai kedua bola mataku. Sembab dan bengkak. Semalam aku memang tidak bisa tidur dengan pulas. Berkali-kali aku terbangun dan tidak bisa kembali melanjutkan tidur. Semua permasalahan ini memang sudah dapat aku atasi. Mungkin tuhan masih sayang pada ku, karena akhirnya aku temukan jalan yang terbaik dari yang baik atas masalah yang menimpaku.

Dia telah datang sebagai penyelamatku. Dia datang untuk membantuku menyelesaikan masalah ini, padahal dia sama sekali gak terlibat dengan apa yang terjadi. Dia lah matahari yang telah membantu memunculkan sebuah pelangi indah setelah badai itu. Ya, kamu lah matahari ku.

Aku kembali tersenyum memandang kotak kenangan itu. Sebuah kotak berwarna merah muda dengan dihiasi motif bunga kecil berwarna warni. Sebuah kotak yang menyimpan foto-foto aku dan matahariku. Selain itu juga ada setidaknya selusin kartu dan surat cinta berwarna merah muda. Dia memang tau kalau aku sangat suka dengan warna merah muda, makanya setiap ada hari penting dia akan memberikan ku barang-barang dengan warna itu.

Namun ada satu benda yang tidak berwarna sama dengan benda lainnya. Sepucuk surat berwarna kuning yang sudah sangat lusuh dan membuat ku malas untuk kembali membuka dan membacanya. Itu bukan surat cinta seperti yang lainnya. Itu adalah surat penuh amarah yang ia berikan kepada ku karena keputusan sepihak yang aku lakukan dulu.

Ku lipat kembali surat itu dan ku kembalikan ke dalam kotak kenangan ku. Kali ini aku mengambil sebuah kartu. Bukan kartu cinta atau ucapan ulang tahun. Ini kartu undangan. Undangan pernikahan berwarna hitam putih yang dihiasi dengan foto terbaik kedua calon mempelai.

Suatu pagi, seminggu kemarin sang penyelamat berbincang dengan ayahku dan ia melamarku. Tidak lama untuk ayahku membuat suatu keputusan meng iya kan lamaran itu. Perut ku ini memang telah memaksa bukan hanya aku tapi juga kedua orang tuaku untuk mengambil suatu keputusan paling besar dalam hidup kami. Tidak banyak waktu yang kami miliki untuk mengatur segala sesuatu. Setelah sekali dilaksanakan rapat keluarga, hari dan tanggal pun ditetapkan. Tidak lupa dengan sederet nama panitia yang akan menyukseskan acara ini.

Dengan alasan tidak enak badan, aku enggan keluar dari kamar. Selimut menutupi tubuhku untuk melengkapi acting sakit ku. Aku malu untuk keluar di saat seperti ini. Lebih-lebih dengan banyaknya keluarga yang datang. Mungkin mereka akan tetap bersikap baik dan ramah kepadaku. Tapi aku tau apa yang ada jauh di dalam mata mereka setiap menatapku. Tatapan yang membuatku menjadi makhluk paling rendah di muka bumi.

***

… Juni 2004

Pagi pertama di liburan sekolahku. Hmm..apa yang akan aku lakukan hari ini yah, pikirku dalam hati. Pilihan-pilihan yang ada tampak sangat membosankan. Hmm..jalan-jalan ke mall, kumpul dengan teman-teman, atau pergi untuk perawatan sehari di salon. Ahh..hanya hal-hal biasa yang ada. Hmm..aku harus menemukan satu pilihan alternatif untuk liburan kali ini. Tapi apa.

Bunyi handphone membuatku penasaran untuk mengetahui siapa yang telah mengganggu ku di pagi yang cerah ini. Sebuah pesan singkat masuk untuk memberitahukan kalau hari ini teman-teman ku mau pergi liburan ke luar kota. Hmm..ke Bandung ? Rasanya ini jauh lebih menyenangkan dari pilihan-pilihan yang ada. Dengan cepat ku balas pesan itu, aku bilang kalau aku akan ikut dengan mereka dan meminta mereka untuk menungguku mempersiapkan apa yang akan aku bawa.

Handphone ku kembali berbunyi untuk memberitahu kalau ada satu lagi pesan singkat yang datang. Kali ini bukan dari teman-teman ku, melainkan dari seorang cowo bernama Surya yang semalam sudah aku beri gelar mantan pacar di depan namanya. Dengan pesan itu ia hanya menanyakan apakah aku sudah menerima surat yang ia selipkan di celah pintu kamarku. Setelah prosesi pemberian gelar tersebut, ia langsung menulis sebuah surat pada kertas kuning lusuh yang ia temukan di ruang tamuku. Dan ia selipkan di celah pintu kamarku sebelum akhirnya ia pamit untuk pergi selamanya dari kehidupanku.

Ku amati kertas kuning itu. Kubaca dan ku coba memahami kata demi kata. Dan akhirnya aku akhiri dengan meremas kertas itu dan melemparkannya ke dalam sebuah kotak berwarna merah muda dengan motif bunga kecil berwarna warni. Maaf sayang, aku gak perlu kamu lagi. Aku sudah mendapatkan seseorang yang baru dan aku inginkan selama ini. Dan dia jauh lebih baik dari mu. Jauh. Sangat jauh lebih baik dari mu.

***

… Agustus 2004

Sayang, kita jadi pergi kan nanti malam ? Tanya pesan aku yang dapatkan dari seseorang yang sangat istimewa, Dimas. Sejak dua bulan yang lalu status aku dan Dimas berubah dari hanya teman biasa menjadi pacar. Aku memang sudah lama mengenal dia. Satu sekolah dan satu tempat kursus membuat kami dekat satu sama lain. Aku akui kalau kedekatan yang ada telah menumbuhkan perasaan aneh setiap kami bertemu. Seperti ada kupu-kupu beterbangan di dalam perut ku. Efek butterfly yang biasa dirasakan oleh seseorang yang sedang jatuh cinta.

Sejak itu aku memang merasakan sesuatu yang lain. Perasaan cinta yang di berikan pacarku sebelumnya jauh berbeda dari yang Dimas berikan ke aku. Dimas sangat perhatian dan bisa meyakinkan ku kalau hanya akulah yang ada dalam hidupnya. Setelah mengenal Dimas aku berjanji untuk menyudahi kegiatan gonta-ganti pacar dan menutup deretan nama mantan terdahulu ku dengan nama Dimas. Hanya Dimas.

Setelah mandi aku lepas roll rambut yang melingkar di rambutku. Roll rambut memang banyak membantu disaat aku tidak sempat pergi ke salon. Setelah semua roll terlepas ku pakai sepotong baju berwarna hitam. Baju yang baru aku beli kemarin dengan setengah dari uang jajanku bulan ini. Hmm..harga yang pantas untuk sebuah baju seperti yang biasa dikenakan Paris Hilton diatas karpet merah. Dengan cepat kupulas kan berbagai warna di atas wajahku. Hmm..sempurna.

Aku keluar tepat dengan kedatangan Dimas ke rumah. Setelah berpamitan dengan kedua orang tua aku memasuki sedan hitam mewah yang sudah terparkir di depan rumah.

“Mas, kita mau kemana sekarang ?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Udah kamu ikut aja deh. Pokoknya tempat yang istimewa untuk orang yang istimewa”. Jawabnya sambil tersenyum.

Aku membalas senyuman manis itu dan kemudian aku lebih memilih untuk diam menunggu kejutan apa lagi yang akan Dimas berikan pada ku. Gak lama waktu untuk ku menunggu, karena kami telah tiba di lapangan parkir sebuah kafe terkenal di ibu kota. Sepertinya disana sedang ada sebuah acara. Acara ulang tahun mungkin karena banyaknya tamu yang datang dan lampu lampu yang menghiasi tiap sudut kafe itu.

“Emang ada acara apa mas, kok disini rame banget ?” tanyaku polos melihat keramaian yang ada disana.

“Temenku ada yang ulang tahun. Mereka nyuruh aku untuk ngajak kamu juga dateng kesini”. Jawabnya seraya meraih tanganku untuk digandeng.

Kami masuk ke dalam kafe itu. Sepertinya orang-orang yang ada merupakan teman Dimas di tempat yang lain, karena tidak aku temukan wajah yang aku kenal dari sekolah atau tempat kursus kami. Satu demi satu orang yang kami temui menyalami untuk berkenalan dengan ku. Dan melakukan toss dengan Dimas seperti layaknya sahabat dekat yang sudah lama tidak bertemu.

Woi apa kabar lo ?..My broe’ dateng juga lo...Eh sipa nih, cewe lo yah ? Kenalin dong. Dan berbagai sapaan lainnya yang berbeda dari orang yang berbeda pula. Banyak juga temannya Dimas. Kok selama ini aku gak tau yah kalau Dimas memiliki teman sebanyak ini. Tidak terasa jarum jarum pada jam tanganku sudah menunjukan pukul 11 malam. Kami pun berpamitan dengan setiap orang disana.

Mobil yang kami tumpangi berhenti di salah satu gang sepi di komplek rumahku. Bukan tempat yang seharusnya, karena gang ini masih jauh dari rumahku. Dimas mematikan mesin mobil, kemudian mengajak ku pindah ke kursi belakang.

“Aku masih mau sama-sama kamu dulu. Gak papa kan kalo kita ngobrol bentar”. Tanyanya sambil menatapku lembut.

Aku mengangguk sebagai tanda setuju dengannya. Aku juga belum ingin masuk ke rumah dan berpisah dengannya malam ini. Aku masih sangat kangen dengan dia, karena selama di kafe tadi dia menghabiskan waktunya untuk ngobrol segala hal dengan teman-teman lamanya itu. Aku dan dia pindah ke kursi belakang, dengan demikian dia bisa lebih nyaman untuk merangkulku. Obrolan demi obrolan pun kami lakukan. Mulai dari masalah yang ada di sekolah, obrolan ringan seperti musik dan film, sampai kepada perasaan kami masing-masing.

“Aku sayang banget sama kamu” katanya dengan tatapan super lembut yang langsung membuatku luluh.

Pada saat mendengar pernyataan itu aku hanya diam. Aku juga sayang kamu mas, jawabku dalam hati. Dimas kembali memelukku untuk kesekian kalinya. Tapi pelukan ini tidak selama yang sebelumnya, karena Dimas mengakhiri pelukan dengan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sampai pada akhirnya bibirnya menyentuh lembut bibirku. Aku hanya bisa diam dan menutup mataku. Aku tidak sadar dengan apa yang sudah aku lakukan pada malam itu dan akhirnya suara lembut Dimas menyadarkan aku apa yang telah kami berdua perbuat.

Aku gak akan ninggalin kamu. Aku janji. Katanya lembut sambil menyelimuti tubuhku yang sudah tidak tertempel satu helai benang pun dengan sebuah jaket olahraga berwarna merah miliknya. Aku sayang kamu mas, dan aku berikan apapun untuk mu. Hanya untuk mu. Jawabku dalam hati berharap kalau ini semua ini hanya satu episode dalam mimpi indahku.

***

… Oktober 2004

Deru mobil makin kencang sekencang denyut jantung kami berdua. Amarah dari satu sama lain membuat emosi kami tidak dapat dibendung lagi. Sudah satu jam aku menangis dan berteriak di dalam mobil mewah ini.

“ Aku hamil mas ! ”. Teriakku kepada cowok yang duduk disampingku itu.

“ Aku gak peduli kamu hamil. Aku belum siap. Kamu ngertiin aku dong. Kamu mau aku kasih makan apa nanti ”. Teriakan balasan aku dapatkan dengan segera.

“ Terus aku harus gimana mas ? “ Balas ku tetap dengan teriakan.

“Kamu tau kan kamu harus ngapain “. Jawabnya singkat.

Acara teriak-teriakan itu tenggelam setelah suara tabarakan yang sangat keras. Decit ban yang mengadu dengan aspal tidak cukup untuk menghentikan kendaraan dengan kecepatan diatas seratus. Papan penunjuk jalan pun tidak bisa pindah untuk menghindari mobil dengan kecepatan seperti itu. Suara klakson keras telah menyadarkanku. Aku lihat darah telah mengalir di dahi ku. Dan Dimas yang duduk disampingku tertidur damai dengan kepala bersandar pada stir. Darah tanpa henti mengalir dari kepalanya. Ini cuma mimpi kan ? Tiba-tiba pandanganku kembali buram dan aku kembali tertidur sebelum sadar kalau semuanya bukan mimpi.

***

26 Juni 2006

Tasya datang menjemputku telat setengah jam dari waktu yang sudah kami janjikan sebelumnya. Aku pamitan dengan mas Surya, suamiku dan tidak lupa aku mengecup kedua pipi malaikat kecilku. Mama pergi dulu ya nak. Lalu aku dan Tasya pun memasuki mobil merah miliknya. Dengan sigap Tasya menyetir menghindari berbagai kemacetan yang kami temui.

Kami sampai di sebuah tempat yang menjadi tujuan kami hari ini. Kutaburi berbagai macam bunga di atas gundukan tanah yang ada di hadapanku. Setelah kami berdua memanjatkan doa berasama, kupandangi sekali lagi papan nisan sebagai tanda dari gundukan tanah tersebut.

Dimas Prameswara

Lahir : 29 Januari 1985

Wafat : 20 Oktober 2004

Aku terdiam sesaat membuka lemari penyimpanan masa lalu di dalam pikiranku. Segala hal indah yang aku lakukan dulu. Sekarang semuanya telah banyak berubah. Tapi ada satu yang gak akan pernah berubah, rasa cinta ku akan terus ada dan akan terus bertambah dan bertambah setiap harinya. Cinta yang sama namun pada orang yang berbeda. Aku akan memberikan kebahagiaan pada anak kita mas, aku janji. Semoga di sana kamu juga mendapatkan kebahagian yang sama mas. Semoga.